Konflik Tindak Kekerasan Atas Nama Agama Di Berbagai WIlayah dan Waktu

Konflik Tindak Kekerasan Atas Nama Agama Di Berbagai WIlayah dan Waktu. -- Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dalam satu dasawarsa terakhir ini telah menguak sekat-sekat pergaulan dan budaya antar bangsa. Akibatnya, apapun yang ada di “luar” begitu mudah menembus dinding kehidupan masyarakat. Hal-hal yang bersifat keagamaan tidak luput dari ancaman dampak globalisasi informasi, munculnya banyak paham atau aliran keagamaan yang sebelumnya bergerak sangat terbatas dan sembunyisembunyi. Aliran-aliran dan paham-paham yang disosialisasikan secara massif dan militan pada gilirannya melahirkan persaingan yang tidak sehat, yang berujung pada anarkisme dan peningkatan intensitasnya.
 
Masih belum hilang dari ingatan publik bentrok fisik antara aliran Sunniy-Shi’ah di Dusun Nanggernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, pada Kamis, 29 Desember 2013 pukul 09.15. Akibatnya dua korban tewas, empat korban kritis, puluhan lainnya luka-luka; dan banyak bangunan rusak. Pasalnya, warga geram terhadap komunitas Shi’ah yang mendakwahkan ajarannya secara door to door. Sudah diperingatkan, tetapi tidak juga menghentikan dakwahnya.

Berselang satu tahun, bentrok berdarah antara aliran Sunniy-Shi’ah terjadi di Kecamatan Puger, Kabupaten Jember pada Rabu, 11 September 2013. Seorang korban tewas, dan beberapa luka-luka. Hal tersebut terjadi karena salah satu dari kedua belah pihak melanggar kesepakatan; akibatnya, pihak yang lain marah.2 Kasus antara Sunniy-Shi’ah belum reda, pada Sabtu sore, 26 Oktober 2013 terjadi amuk massa di Desa Siwalan Panji, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, tepatnya di Jalan Raya Lingkar Timur Km 2-3, disebabkan akan didirikannya markas Majelis Tafsir Al-Qur‟an (MTA) di desa tersebut. Masyarakat setempat, kiai, ustaz, santri maupun warga sekitar mengamuk menggagalkan rencana itu, karena majelis ini (sebagaimana telah terjadi di kota-kota lain) menghujat akidah dan amaliyah yang diyakini masyarakat pada umumnya. 

Terlepas dari dugaan siapa pelakunya dan siapa korbannya, faktanya mereka adalah orang-orang yang notabene sama-sama Islam. Memang fakta ini tidak dapat dijadikan dasar untuk membuat generalisasi bahwa umat Islam ialah umat yang sering bentrok satu sama lain, namun hal ini merupakan salah satu gejala sosial yang pasti dialami oleh umat-umat agama lain di wilayah dan negeri lain. Perbedaan pendapat, perbedaan ideologi, bahkan perbedaan akidah dan keyakinan, seringkali menjadi faktor dominan sebagai sebab timbulnya pertikaian.

Tidak masuk akal, Islam, yang secara harfiah dapat berarti penyelamatan, memiliki ragam penganut yang radikal; membawa bahaya bagi orang lain. Kebenaran di suatu kelompok merupakan pecahan dari satu cermin untuk introspeksi diri, bukan justru untuk menusuk kelompok lain dengan alasan kebenaran mereka adalah pecahan yang salah meski dari satu cermin yang sama? Bukan hanya antar sesama Islam, dengan agama lain pun, Islam tidak pernah mengajarkan sikap radikal menggempur agama lain. Islam mengajarkan kemerdekaan dalam beragama. Tidak ada paksaan dalam beragama, bahkan sejak awal sejarah Islam di Madinah memiliki penduduk dengan beragam agama.

Konflik akibat perbedaan keyakinan tersebut menguak luka lama di tubuh sejarah umat Islam: dari perang Jamal, perang Shiffin, hingga terbunuhnya ‘Ali ibn Abu Thalib ra. Perseteruan tersebut memuncak hingga tragedi Karbala, tragedi yang menewaskan putra dan cucu-cucu ‘Ali ibn Abu Thalib ra. Pelaku dan korban dalam perang, pembunuhan, dan “pemeran” tragedi tersebut ialah orang-orang Islam. Peristiwa ini mengemuka kembali dalam konteks perebutan kekuasaan antara Sunniy dan aliran Shi’ah di Shuriah, Pakistan, Irak, Iran, dan beberapa negara lain.

Perilaku radikal yang bermula dari motif agama, sudah tercatat oleh sejarah sejak tahun 66-67 SM., ketika kelompok ekstrem Yahudi melakukan berbagai aksi teror (termasuk di dalamnya pembunuhan) terhadap bangsa Romawi yang melakukan pendudukan di wilayahnya (wilayah yang dipersengketakan oleh Israel dan Palestina saat ini). Sejak saat itulah, aksi-aksi terorisme di berbagai belahan dunia yang melibatkan etnik dan agama, terus terjadi.

Dalam sejarah Islam sendiri, tercatat kasus persengketaan antar umat Islam sejak masa kekhalifahan ‘Utsman ibn ‘Affan, di akhir abad ke-1, dan awal abad ke-4 Hijriyah, hingga melahirkan beragam paham, baik teologis maupun yuridis.
Pertikaian tersebut mempunyai pengaruh terhadap pengambilan kebijakan hukum dalam al-Tashri’ al-Islamiy (pensyariatan Islam), tendensiusitas periwayatan Hadis, yakni munculnya hadis palsu, bahkan, sampai berpengaruh pada materi kurikulum yang diajarkan waktu itu. Konflik-konflik yang berakar pada perbedaan pendapat dan keyakinan ini terumuskan sebagai konflik yang diwariskan turun-temurun melalui pendidikan. Terlepas hal tersebut terjadi pada aliran Khawarij, aliran Shi’ah, maupun aliran Sunniy,  sehingga sulit sekali menemukan akar konflik yang sesungguhnya. Kristalisasi perbedaan pendapat (yang cenderung ekstrem) terhadap materi pelajaran yang diajarkan merupakan indikasi keterlibatan pendidikan.

Indikasi ini terlihat pada ketidakberhasilannya melahirkan generasi yang tahan terhadap perbedaan pendapat dan keyakinan. Sesuai pendapat al-Ghazaliy, perbedaan adalah lautan yang dalam, adalah keniscayaan yang tidak dapat diingkari. Ketidakberhasilan yang ditandai oleh timbulnya aksi-aksi radikal menimbulkan dua dugaan kuat: 1. pendidikan dijadikan upaya penyuburan perbedaan pendapat yang berpotensi menyulut konflik; dan 2. tidak ada upaya penyadaran akan perbedaan melalui pendidikan dengan meletakkan dasar-dasar pemikiran yang moderat. Asumsi tersebut tidak dapat dibenarkan begitu saja, perlu didasari kajian yang mendalam. Hal yang dapat diambil dari ilustrasi di atas ialah bahwa pendidikan Islam dari akhir abad ke-2 hingga kini ikut berperan —positif atau negatif— dalam timbulnya konflik-konflik di atas.
 
Tindak kekerasan merupakan sesuatu yang inheren dengan pribadi seseorang yang hidup di lingkungan majemuk (baik dalam berkelompok maupun bermasyarakat) yang terkadang untuk mempertahankan eksistensinya, mereka memilih kekerasan. Keputusan seseorang atau kelompok tertentu memilih kekerasan sebagai cara untuk mewujudkan cita-citanya sangat dipengaruhi oleh pendidikan, baik pendidikan keluarga, pendidikan lingkungan, maupun pendidikan formal.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Konflik Tindak Kekerasan Atas Nama Agama Di Berbagai WIlayah dan Waktu"

Post a Comment