Review Buku : Sekolah Bukan Pasar, Sekolah di Zaman Kini
SEKOLAH
BUKAN PASAR
Karya :
St. KARTONO
SEKOLAH
DI ZAMAN KINI
Tempo hari, pada suatu lembaga
pendidikan yang telah mengeluarkan surat keputusan berdasarkan kantor Dinas
Pendidikan dan Pengajaran Cabang, bahwa “setiap siswa wajib menonton hiburan Operet Teletubbies dan Power
Rangers.,.,.,”. surat itu menyebutkan waktu, tempat dan harga karcisnya yang
mesti dibayar oleh siswa dengan pendampingnya.
Seorang wali dari siswa tersebut
termangu, bukan oleh jumlah uang yang harus di bayar untuk karcis pertunjukan.
Betapa sekolah sejak taman kanak kanak hingga perguruan tinggi sekedar menjadi
pasar sekaligus pangsa untuk meraup keuntungan finansial.
Pada waktu yang hampir
bersamaan, muncul berita siswa kelas 3 sampai dengan kelas 4 SD disuruh
menyaksikan pentas ketoprak dengan biaya Rp. 1.500 per siswa. Pertunjukan
tersebut dilaksanakan pada saat jam pelajaran berlangsung, beberapa orang tua
siswa yang enggan disebut namanya mengatakan, meski bukan wajib, karena yang
menyuruh adalah guru, sangat tidak mungkin bagi siswa maupun orang tua berani
menolak. Uang hasil pertunjukkan yang jumlahnya tidak kecil itu dibuat
bancakkan pihak sekolah, Dinas P & K Ranting Kecamatan serta Dinas P &
K Kabupaten”.
Berkaitan dengan dua pengalaman
diatas, saya sepakat dengan ungkapan Bertrand Russel bahwa pada gilirannya guru
sekedar sebagai profesi, sebagai pekerjaan yang sudah terorganisasi rapi dengan
segala bentuk motif dan kepentingan yang bertumpuk didalamnya. Lebih jauh
Russel menyebut, bahwa guru dalam sistem birokrasi massal menjadi ujung tombak
mewartakan kepentingan birokrasi. Maka, jadilah guru bukan sebagai agen pemberi
kebijakan, pemberi kecerdasan manusiawi, pelatih kedewasaan, melainkan menjadi
agen kebohongan dan ideologi yang harus disebarluaskan oleh birokrat pemegang
keputusan yang notabene adalah atasan guru. Dan pada akhirnya sekolah adalah
pasar paling potensial untuk dimasuki lewat birokrasi urusan pendidikan.
Banyak mekanisme pasar yang
mendominasi irama sekolah, seperti halnya kegiatan setelah penerimaan siswa
adalah pengadaan seragam siswa, siswa menjadi konsumen pasar tekstil, sepatu,
dan berbagai atribut yang bisa jadi harganya melampaui harga wajar di luaran.
Ketika tahun ajaran berjalan, sekolah berubah menjadi pasar buku pelajaran.
Setiap tahun buku bisa berganti ganti, tidak bisa diestafetkan kepada adiknya.
Menjelang liburan, kegiatan
wisata atau tour menampakkan wajah pasar, berbagai lembaga kursus, tes IQ,
kursus komputer, sempoa masuk ke sekolah sekolah. Para kepala sekolah memoblisasi
siswa (orang tua) untuk mengeluarkan uang lagi demi melayani para penyedia jasa
tersebut. Bagaimanapun rumusan pendidikan dilakukan, toh ujung ujungnya tetap
duit.
Menarik uang dari siswa entah
itu bernama iuran siswa, atau sumbangan wajib tetap saja orang tua yang
menanggung. Bahkan jika di banyak tempat dikeluhkan sepak terjang musyawarah kerja
kepala sekolah yang menyelenggarakan kegiatan ulangan umum bersama, sementara
kalangan guru menduga ada motivasi uang dibelakang penyelenggaraan itu.
Akhirnya, saya meminjam rumusan
dari dharmaningtyas bahwa kebiasaan menjadikan sekolah sebagai ladang mencari
keuntungan harus ditinggalkan. Mekanisme yang demikian itu mempunyai kontribusi
besar terhadap proses pemiskinan masyarakat yang sudah miskin. Sekolah harus
sudah dibebaskan dari suasana bisnis yang dilakukan oleh siapapun, terlebih
oleh birokrat Diknas. Kepala sekolah, atau guru, dengan dalih apapun.
Ada Banyak Proyek
di Sekolah!!!
Ketika ditanya, jawaban kepala
Balitbang Dekdiknas perihal perbedaan pelaksanaan ujian nasional di setiap
daerah adalah : “Oh, paling tidak pelaksanaannya bersifat Nasional, baik dari
sisi pengadaan soal maupun pelaksanaannya serentak. Jawaban tersebut dinilai
semakin membenarkan anggapan bahwa ujian Nasional lebih kentara dengan
pendekatan proyek daripada substansi peningkatan mutu pendidikan.
Maka, pembiaran terjadinya
kecurangan dalam pengerjaan, menutup mata terhadap banyak sekolah yang berlomba
lomba mengatrol nilai ujian praktik, seolah tidak mau tahu adanya model koreksi
jawaban oleh para guru disetiap daerah yang begitu penuh belas kasihan.
Proyek ujian nasional hanyalah
salah satu dari sejumlah proyek yang bisa diadakan sepanjang tahun ajaran,
artinya disana ada ritme yang berulang dari tahun ke tahun, pada jenjang
pendidikan menengah umum, sejak penerimaan siswa baru sampai acara tutup tahun,
apapun bisa jadi proyek. Apa sebenarnya yang ada dibalik biaya pendaftaran,
uang gedung, sumbangan pendidikan, sumbangan operasional, dan sederet tarikan
biaya baik pada calon siswa maupun siswa baru yang telah diterima.
Mencari Guru
Kreatif.
Tanpa guru yang Kreatif dan bisa
diandalkan penguasaan materinya, musahil jika suatu pendidikan berikut
kurikulum serta muatan kulikulernya dapat mencapai hasil yang di idealkan. Kurikulum
memang penting, namun masih membutuhkan sosok sosok guru untuk
menterjemahkannya dalam praksis pengajaran.
0 Response to "Review Buku : Sekolah Bukan Pasar, Sekolah di Zaman Kini"
Post a Comment