Sejarah Mitologi dan Pengertian mitologi dalam lingkup penelitian

Pada mulanya keingintahuan manusia ternyata tidak dapat terpuaskan atas dasar pengamatan maupun pengalamannya. Untuk memuaskan alam pikirannya manusia mereka – reka sendiri jawaban terhadap keingintahuannya melalui mite – mite. Jadi, mite – mite tersebut sudah merupakan percobaan manusia untuk mengerti dunianya, melalui “penelitian yang paling sederhana”. Mite – mite sudah memberi jawaban atas pertanyaan – pertanyaan yang hidup dalam hati manusia : Dari mana asal kejadian alam? Mengapa manusiadiciptakan? Apa sebab matahari terbit, lalu terbenam lagi? Apakah pelangi itu? Mengapa gunung bisa tegak dan bisa meletus? Bagaimana bumi terhampar, padahal katanya bumi itu bulat? Bagaimana langit ditinggikan tanpa tiang penyanggah? Dan sebagainya. Melalui mite – mite, manusia mencari keterangan serta melakukan “penelitian” tentang asal – usul alam semesta dan tentang kejadian – kejadian yang berlangsung di dalamnya. Mite macam pertama yang mencari keterangan tentang asal – usul alam semesta sendiri biasanya disebut mite kosmogonis, sedangkan mite macam kedua yang mencari keterangn tentang asal – usul serta sifat – sifat kejadian dalam alam semesta disebut mite kosmologis.

Baca Juga : Naluri Pengetahuan dalam Pengembangan Penelitian
 
Cara berfikir mitologis tersebut pada waktu itu dapat diterima sesuai dengan perkembangan alam fikiran manusia, yang secara evolusi menurut August Comte melalui tahapan. August Comte menggambarkan bahwa:



Proses berfikir manusia dalam menafsirkan dunia dengan segala isinyaberkembang secara evolusi, melalui tahapan religius, metafisika dan positivisme. Dari konsep ini terwujudlah perubahan sosial masyarakat baru, berdasarkan kenyataan empiris hasil pemikiran rasional, dan pada akhirnya akan mencapai tingkat integrasi yang lebih besar. Pada awal perkembangannya akal budi manusia menggunakan gagasan – gagasan yang bersumber dari agama untuk menerangkan semua gejala dan kejadian alam. Faham animisme misalnya, menganggap alam semesta terdiri dari mahluk – mahluk yang berkuasa, mempunyai perasaan, kemauan serta mampu bertindak seperti manusia lain pada umumnya. Alam semesta berjiwa dan dianggap memiliki kekuatan. Dunia dihayati sebagai kediaman roh- roh halus yang bisa memberikan berkah dan bala. Karena itu melalui berbagai upacara kecil, semacam sesajen, selamatan, serta menggunakan perantara seorang dukun, orang berusaha mendapatkan bantuan dari roh – roh halus yang dianggap memiliki kekuatan itu. (Veeger, 1986: 20-21)

Proses perkembangan evolusionis itu kemungkinan bisa terjadi karena faktor – faktor alamiah, antara lain karena:

a)    Keterbatasan pengetahuan yang disebabkan karena keterbatasan pengindraan.

b)   Keterbatasan penalaran manusia pada masa itu.

c)    Keingintahuan manusia pada masa itu tidak terjawab.

Baca Juga : Proses dan Prosedur dalam Penelitian

Mitos dan Logos

Walaupun mitologi menjawab pertanyaan tentang alam semesta itu, tetapi jawaban yang diberikan tidak dapat dikontrol oleh pihak rasio. Pada abad ke 6 s.m., di Yunani mulai berkembang suatu sikap yang sama seklai berlainan sejak saat itu orang – orang mulai mencari jawaban atas problem – problem yang diajukan oleh alam semesta. Manusia mencari semacam strategi guna menemukan hubungan tepat antara manusia dengan daya kekuatan di luarnya. Perbuatan – perbuatan praktis seperti upacara – upacara, masih berlaku tetapi pertimbangan –pertimbangan teoritis juga berperan. Manusia tidak begitu terkurung lagi dengan alam mistis, tapi ia mulai mengambil jarak dan berusaha memperoleh pengertian mengenai kekuatan – kekuatan yang menggerakkan alam dan manusia.

Perkembangan ini disebut peraliahan dari “mitos”. Atau, alam pemikiran mitologis diganti dengan pemikiran ontologi. Lahirlah filsafat dan ilmu pengetahuan yang tidak hanya bersifat teoritis, tapi juga berorentasi praktis, yakni “membebaskan” manusia dari cengkeraman mitologis. Dengan demikian timbul sikap ontologis yang terutama menonjolkan pengetahuan sistematis yang dapat dikontrol. Manusia muali mencari sebab musabab dari segala sesuatu dan terutama mengaitkan berbagai sebab, akhirnya mereka sampai pada sebab pertama. Singkatnya, manusia mulai mencari sesuatu keterangan rasional yang memungkinkannya mengerti alam serta berbagai gejala di sekitarnya.

Tidak dapat disangkal bahwa keterangan – keterangan macam itu bagi kita sekarang ini sering kali agak naif kedengarannya. Tetapi yang penting ialah cara rasional dan logis yang mereka gunakan untuk mendekati problem – problem yang ditemui di alam semesta. Suatu contoh sederhana adalah pelangi. Dalam masyarakat Yunani yang tradisional, pelangi adalah seorang dewi yang bertugas sebagai suruhan dewa – dewa lain. Tetapi Xenophanes, salah seorang diantara filsuf – filsuf pertama, melalui proses penelitian mengatakan bahwa pelangi hakekatnya merupakan suatu bentuk awan. Kira – kira satu abad sesudahnya, Anaxagoras meneliti kembali bahwa pelangi disebabkan oleh pantulan matahari dalam awan – awan. Karena cara pendekatan sedemikian bersifat rasional dan dapat dikontrol oleh siapa saja, terbukalah kemungkinan melakuakn penelitian ulang, yang hasilnya dapat dijadikan bahan diskusi secara terbuka. Satu jawaban akan menampilkan pertanyaan – pertanyaan lain yang kritis atas satu keterangan lain, sehingga dari suasana rasional ini berkembang pemikiran ilmiah yang bisa melahirkan ilmu pengetahuan.

Lahirnya filsafat karena logos telah menyalahkan mytos atau munculnya filsafat tak lain karena adanya usaha mencari dan meneliti suatu keterangan rasional yang mungkin untuk memahami kejadian – kejadian yang dapat diamati oleh umum. Dalam rangka pengertian itulah ilmu pengetahuan timbul sebagai usaha secara metodelogis dan sistematis mencari asas – asas yang mengijinkan untuk memahami kesatuan yang berkaitan satu sama lain antara banyak gejala. Proses ini sudah mulai di kalangan para Filosuf alam di Yunani, diantaranya Demokritos (abad – 5 s.m.) dengan ajarannya yang disebut Atomisme, yaitu ada kejamakan dan perubahan yang dapat disaksikan pada benda benda serta gejala-gejala yang kelihatan, harus dimengerti sebagai perbedaan serta perubahan dalam susunan atom-atom yang tidak kelihatan dan tak terubahkan.

Dalam kaitan itu dapatlah dikatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan adalah peralihan dari kejamakan menuju kesatuan. Namun sebaliknya juga terdapat kecenderungan bahwa dahulu ilmu pengetahuan lebih jelas daripada sekarang, karena ilmu pengetahuan yang dulu satu itu kini telah terpecah menjadi banyak ilmu, yang berdiri sendiri-sendir.

Patut pula dicatat bahwa sejak dulu sudah dikenal adanya berbagai tipe ilmu pengetahuan, Aristoteles (384 sm – 322 sm) mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi; pertama ilmu-ilmu praktis; dan kedua, ilmu-ilmu teoritis. Yang pertama disebut praktis karena dilihat dari sifat atau orientasi utama dan ilmu itu sendiri, yakni demi manfaat praktis. Sedangkan yang kedua bertumpu pada prinsip yang menyangkut cara memandang realitas. Yang termasuk didalam ilmu-ilmu praktis adalah etika (menyangkut tindakan yang tepat), poetika (menyangkut produksi atau membuat sesuatu dengan tepat); dan politika (menyangkut negara atau politik). Sedangkan yang termasuk di dalam ilmu-ilmu teoritis adalah ilmu alam (memandang realitas menurut aspek-aspeknya yang material dan kualitatif). Matematika (memperhatikan aspek-aspek kuantitatif). Dan metafisika (memandang realitas menurut aspek-aspeknya yang paling umum dan fundamental, sejauh realitas itu ada).

Plato (427 sm – 347 sm ) mempunyai titik tolak berfikir yang berbeda dengan filosuf lainnya, ia menghindari pemikiran materialistik. Menurut Plato keaneka ragaman yang nampak di alam ini, sebenarnya suatu duplikat saja dari sesuatu yang kekal dan immaterial. Sebagai contoh misalnya tentang kupu-kupu. Ada kupu-kupu yang kuning, putih, dsb. Begitu beraneka ragam, karena itu semua merupakan kopi atau tiruan, maka tak sempurna. Yang benar adalah : ide kupu-kupu yang kekal dan immaterial. Tidak dapat dipungkiri bahwa bagi orang Yunani, filsafat merupakan suatu pandangan rasional tentang segala-galanya. Baru berangsur-angsur dalam sejarah kebudayan, ilmu-ilmu pengetahuan satu demi satu melepaskan diri dari filsafat, supaya memperoleh otonominya. Oleh karena itu, bangsa Yunani mendapat kehormatan yang bukan kecil, yaitu bahwa merekalah yang mnelorkan cara berfikir ilmiah. Melalui penelitian dengan cara berfikir mendalam, faham idealisme Plato menyimpulkan suatu temuan baru, bahwa semua yang ada di alam ini berupa benda-benda materi, hakikatnya adalah bayangan yang bersifat sementara. Benda-benda materi di alam itu akan hancur bersama hancurnya alam semesta. Yang abadi hanyalah yang ideal, yang berada jauh secara trancendent di luar alam, sehingga tidak akan hancur bersama hancurnya alam. Faham idealisme Plato yang kemudian juga dikembangkan bersama Aristoteles muridnya, menjadi bahan pemikiran ilmiah yang akan melahirkan ilmu pengetahuan. Karena itu secara filosofis, penelitian tidak bisa dilepaskan dari konsep berfikir ilmiah dan ilmu pengetahuan.

Baca Juga : Cara Membuat Rumusan Masalah Yang Benar

Faham idealisme dan spiritualisme akan memberikan warna bagi lahirnya ilmu pengetahuan yang ideal termasuk ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan nilai-nilai spriritual. Dasar pemikiran idealisme adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan dasar pemikiran spiritualisme adalah nilai-nilai ajaran agama yang bersifat sakral. Penelitian biasanya berlaku untuk mengamati gejala-gejala yang bersifat material. Namun demikian, perkembangan ilmu pengetahuan memberikan peluang terhadap kemungkinan dilaksanakannya penelitian terhadap gejala-gejala yang ideal dan bersifat spiritual.

Berdasarkan kerangka diagram tersebut diatas dapat dijelaskan eratnya hubungan antara aktivitas penelitian dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan seirama. Menurut Darji Darmodiharjo (1995 ;1) ada ilmu pengetahuan biasa yang diperoleh dari hasil pengamatan indrawi. Ada pengetahuan ilmiah yang diperoleh berdasarkan metode penelitian yang sistematis. Dan ada ilmu pengetahuan filsafat yang diperoleh melalui perenungan mendalam (kontemplasi) sehingga menemukan hakikat kebenaran tentang sesuatu.

Lahirnya filsafat ilmu misalnya, merupakan manifestasi dari penelitian mendalam sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan baru, seperti juga filsafat dakwah, filsafat pendidikan, filsafat agama, filsafat sosial dll. Filsafat ilmu merupakan spesifikasi dari filsafat yang secara khusu dan kritis meneliti dan mengkaji konsep-konsep dasar atau asumsi-asumsi ilmu pengetahuan untuk memperoleh makna kebenaran yang hakiki. Van Peurson(1986:1) menegaaskan bahwa filsafat ilmu adalah pengkajian terhadap ciri-ciri pengetahuan ilmiah serta cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan penelitian lanjutan, terhadap obyek atau masalah khusus dari masing-masing bidang ilmu. Dengan demikian mempelajari filsafat ilmu merupakan bekal untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh, sehingga kita mengerti hakikat ilmu yang dipelajari (ontologis), bagaimana cara memperolehnya (epistemologis), serta apa nilai manfaat dari ilmu itu (axiologis).

Ontologi adalah ilmu filsafat yang membahas tentang hakikat sesuatu kebenaran dan kenyataan yang terkait dengan pengetahuan ilmiah. Sedangkan epistemologi mengandung makna teori ilmu pengetahuan, sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari adal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya suatu pengetahuan. Epistemologi mengkaji proses pengetahuan bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu? Dari mana pengetahuan itu diperoleh? Bagaimana validitas pengetahuan itu dapat dinilai? Apakah ada perbedaan pengetahuan pra pengalaman dengan pengetahuan pasca pengalaman? Adapun Aksiologi adalah bagian ilmu filsafat yang bersifat normatif, mengandung makna nilai-nilai manfaat suatu kebenaran ilmu pengetahuan yang diteliti dan dipelajari.

Memperoleh ilmu pengetahuan hakikatnya merupakan tuntutan naluri kemanusiaan, sesuai dengan fitrah keingin tahuan manusia, sehubungan dengan potensi akal dan hati yang dimilikinya. Segala sesuatu yang diketahui oleh manusia itulah yang dikenal deng istilah pengetahuan. Biasanya pengetahuan diperoleh berdasarkan hasil pengamatan indrawi dalam kehidupan sehari-hari. Jika pengetahuan itu diperoleh melalui proses penelitian deng metode dan prosedur yang sistematis, maka hasil penelitian itu disebut pengetahuan ilmiah. Apabila pengetahuan itu diperoleh melalui proses berfikir secara mendalam hingga mengalami kontemplasi hakikat kebenaran sesuatu, maka hasilnya dapat dikatagorikan sebagai pengetahuan filsafat. Kalau pengetahuan diperoleh seseorang berdasarkan suatu keyakinan terhadap kebenaran ajaran agama, maka hasilnya dikenal dengan istilah pengetahuan agama. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pada dasarnya filsafat, ilmu dan agama merupakan satu kesatuan sistem yang diperoleh melalui suatu proses penelitian.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sejarah Mitologi dan Pengertian mitologi dalam lingkup penelitian"

Post a Comment