Variasi Interaksi Dalam Belajar

Variasi Interaksi Belajar -- Dalam aktivitas interaksi belajar mengajar diperlukan variasi. Yang dimaksud variasi interaksi ialah frekuensi atau banyak sedikitnya pergantian aksi antara pengajar/pendidik dengan peserta didik dan peserta didik dengan peserta didik secara tepat. Hal yang perlu disadari adalah bahwa mengajar bukanlah menuang seperangkat pengetahuan kepada sesuatu yang mati. Peserta didik bukanlah benda mati, tetapi sesuatu yang hidup dan dinamis dan penuh emosi. Peserta didik bereaksi terhadap lingkungan tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosial dan sosial. Karena itu besar kecilnya variasi interaksi tergantung pada metode mengajar yang digunakan. Metode tanya jawab diharapkan kedua pihak (pengajar dan peserta didik) banyak melakukan dialog tentang materi ilmu yang dibahas. Sedang metode diskusi lebih banyak interaksi antara peserta didik dengan peserta didik lain atas prakarsa dan pengarahan pengajar/pendidik. Pada metode ceramah, pengajar lebih banyak melakukan aksi daripada peserta didiknya.

Melalui variasi interaksi belajar dapat diperoleh beberapa keuntungan, misalnya suasana kelas menjadi hidup. Jika kelas dikelola dengan menonton akan terjadi kebosanan dan suasana kelas menjadi redup, kurang bergarirah. Dengan variasi itu karena adanya perubahan situasi, kondisi, dan suasana belajar, muncul semangat baru untuk belajar. Disamping itu, menurut Sardiman AM. (2005 : 207 - 208), melalui variasi interaksi tersebut dapat diketahui dengan cepat kebutuhan dan minat peserta didik, seberapa jauh materi dapat diterima atau difahami, kekurangan atau kesalahan pengajar, perhatian peserta didik, sikap peserta didik terhadap beberapa aspek yang dipelajari, dan ada tidaknya interaksi antara pendidik/pengajar dan peserta didik.

Dalam menciptakan suasana belajar yang variatif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan misalnya memahami dan menyikapi bahwa peserta didik adalah insan pribadi dan sekaligus insan sosial yang memiliki hakikat dan harga diri sebagai manusia, menciptakan hubungan yang erat antara pengajar dan peserta didik serta peserta didik dengan peserta didik lain, menumbuhkan gairah dan kegembiraan belajar, kesediaan dalam membantu peserta didik, memberikan motivasi dan pengarahan untuk rajin belajar menggunakan metode dan strategi pembelajaran yang beragam sesuai kebutuhan dan jenis materi pembelajaran.

Sehubungan dengan variasi interaksi belajar mengajar, tenaga pengajar guru/dosen menyandang banyak peran. Sebagaimana dikutip oleh Sardiman AM. (2005 : 144-146), peran itu adalah : sebagai informator (pemberi informasi), sebagai organisator (pengelola kegiatan akademik), sebagai motivator (pemberi semangat), sebagai direktur (pengarah/pemimpin), sebagai inisiator (pencetus ide), sebagai transmitter (penyebar kebijakan pendidikan/pengetahuan), sebagai fasilitor pemberi fasilitas, kemudahan dalam proses mengajar belajar), sebagai mediator (penengah/pemberi jalan keluar), dan sebagai evaluator (memiliki otoritas menilai prestasi anak dalam bidang akademis maupun tingkah laku sosialnya). Berbagai peran tersebut dilakoni sesuai kebutuhan dan suasana belajar serta materi, metode dan strategi pembelajaran yang digunakan.

Dalam interaksi belajar yang variatif itu perlu diciptakan keadaan dan suasana yang kondusif sehingga dapat menguntungkan secara akademis. Untuk itu, ada beberapa sikap yang harus dimiliki baik oleh pengajar/pendidik maupun peserta didik. Sikap itu, menurut Burahuddin  Salam (2004 : 73-74), adalah : Pertama, sikap saling mengenal. Ibarat pepatah ‘’tak kenal maka tak sayang’’ seorang pengajar yang tidak mengenal peserta didiknya atau sebalinya peserta didik yang tidak mengenal pengajarnya, tidak akan timbul rasa kasih sayang manusiawi yang paternalistik,  tidak akan timbul rasa kasih sayang antara orang tua dan anak, hal ini berakibat terjadinya jarak yang jauh antara keduanya. Kedua, sikap terbuka. Sikap terbuka dalam dunia akademis merupakan suatu keharusan yang dapat menumbukan mental untuk menerima kritik. Keterbukaan juga dapat mengakrabkan hubungan, karena hal masing masing. Dengan sikap keterbukaan, tidak terjadi kecurigaan kedua belah pihak yang dapat mempertebal kepercayaan. Ini dapat berakibat pada hubungan ‘mesra’ Dan memepermudah komunikasi. Ketiga, sikap saling percaya dan menghargai. Kepercayaan terhadap seseorang dapat menimbulkan penghargaan. Pengajar yang memiliki kepercayan kepada peserta didiknya akan mengjargai dan menempatkan mereka sebagai partner. Melalui kepercayaan itulah kemudian muncul sikap menghargai. Tanpa sikap saling percaya sulit sikap mengahrgai dapat dimunculkan. Dengan kata lain, orang akan saling menghargai manakalamereka terlebih dahulu saling mempercayai. Agak janggal tampaknya, dalam situasi saling mencurigai akan muncul sikap saling menghargai secara tulus dan sesungguhnya. Keempat, sikap berkesungguhan hatu untuk membimbing. Pengajar (guru/dosen) memiliki tugas untuk membimbing peserta didiknya agar menjadi manusi seutuhnya, karena itu ia harus memiliki sikap mental mau melayani dan memberi bimbingan. Kelima, sikap menyadari akan hak kewajiban masing masing sebagai pengajar (guru/dosen) dan peserta didik (siswa/mahasiswa). Dengan kesadaran demikian akan muncul saling pengertian (mutual understanding) kedua belah pihak dan pada akhirnya dapat menunjang keberhasilan belajar mengajar.

Belajar ada kalanya dilakukan secara sendirian dan ada pula yang dilaksanakan secara berkelompok. Sebagian orang menganggap bahwa belajar mesti dilakukan seorang diri saja. Duduk didepan meja dengan buku atau komputer di depannya, seseorang membaca, memahami, menghafal, atau menulis konsep dan teori-teori ilmu pengetahuan. Belajar sendirian bagi orang tertentu memang lebih pas karena konsentrasi terfokus, tidak terganggu oleh orang lain, berpikir lebih jelas dan terarah. Sebaliknya, belajar secara berkelompok lebih pas. Sebab, buku dan sumber pelajaran yang lain hanya memberikan bahan-bahan mentah materi ilmu pengetahuan. Melalui refrensi-refrensi yang ditemukan, materi ilmu pengetahuan perlu dipahami, dibandingkan dengan ilmu pengetahuan, perlu dibandingkan dengan keseluruhan bidangnya, dibatasi antara yang penting dan yang tidak penting, sehingga diperlukan suatu diskusi dengan orang lain (interaksi kelompok) yang dikenal dengan istilah belajar kelompok (study group).

Belajar secara berkelompok mempunyai nilai lebih dibanding belajar secara sendirian. Menurut Frans Bona S. (2005 : 62-63), nilai lebih belajar secara berkelompok itu adalah :
  1. Dapat menggalakkan minat studi;
  2. Lebih efisien
  3. Mempermudah memahami acuan-acuan secara keseluruhan;
  4. Dengan belajar secara berkelompok, satu ‘’standard’’ pengetahuan akan tercapai untuk kelompok secara keseluruhan;
  5. Melatih diri untuk menerima kritik, toleransi, menghilangkan  sikap ekstrim keyakinan.
Karena belajar secara berkelompok melibatkan banyak orang, maka ia berbeda dengan belajar secara perorangan. Demikian pula, karena kelompok itu dimaksudkan untuk belajar bukan untuk kegiatan lain, maka berbeda dengan kegiatan-kegiatan berkelompok lain, misalnya arisan dan sebagainya. Disinilah terlihat ciri-ciri interaksi belajar kelompok (Burhanuddin Salam, 2004 : 29-30) sebagai berikut :
  1. Semua anggota terlibat secara maksimal terhadap semua tugas yang telah ditetapkan oleh dan untuk kelompok;
  2. Interaksi spontan antara sesama anggota dirangsang dan dilembagakan;
  3. terdapat saling berkomunikasi serta interaksional antar anggota;
  4. Terdapat saling membimbing dan membantu dalam usaha-usaha kelompok antar anggota sewaktu dibutuhkan;
  5. Semua anggota terikat pada tujuan untuk menjamin terlaksananya diskusi atas dasar logika dan penalaran (rasional), bukan atas dasar sentimen dan emosi;
  6. Setiap anggota bersikap demokratis dan berusaha tercapainya konsensus pendapat melalui organisasi.
Dalam kegiatan interaksi belajar kelompok terkadang terdapat beberapa kendala, misalnya kesalahan presepsi arti belajar kelompok sehingga menjadi minder, ketidakfahaman mengenai tema yang dibicarakan, diskusi tidak serius, bahkan akhirnya jadi arena obrolan saja. Oleh karena itu, menurut (Burhanuddin Salam, 2004 : 30 - 31) perlu difahami bahwa :
  1. Diskusi bukan untuk berlomba menunjukkan kepandaian, kelihaian pendapat, tetapi sama hendak belajar,
  2. Untuk menciptakan diskusi yang bebas, anggota kelompok terdiri dari orang-orang yang sama tarafnya.
  3. Agar diskusi terarah, tidak menjadi arena obrolan saja perlu diangkat, seorang sebagai ketua diskusi atau sebagai moderator yang akan mengarahkan diskusi agar tidak keluar dari tema yang dimaksud.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya aturan-aturan sebagai berikut :
  1. Kelompok studi biarpun kecil supaya memberi peluang kepada tiap-tiap orang untuk berbicara secara bergantian. Idealnya satu kelompok studi cukup minimal 4 orang dan maksimal 8 orang.
  2. Untuk menciptakan diskusi yang bebas, anggota kelompok terdiri dari orang-orang yang sama tarafnya.
  3. Tiap-tiap orang berbicara mengikuti giliran, dan setiap orang mengadakan persiapan sebelumnya.
  4. Diskusi jangan menjadi ajang ngrumpi. Harus ada seorang ketua untuk mengawasi.

Tidak selamanya diskusi yang dilaksanakan sukses mencapai tujuan sebagaimana diharapkan. Menurut Dennis S. Couran, sebagaimana dikutip Burhanuddin Salam (2004 : 30-31), suatu diskusi mengalami kegagalan karena disebabkan oleh faktot-faktor berikut :
  1. Ketidakpatuhan anggota terhadap kalender ;
  2. Adanya anggota yang memiliki tujuan berbeda ;
  3. Beberapa anggota cenderung tidak setuju terhadap apa yang dibahas ;
  4. Beberapa anggota mungkin kurang senang berpartisipasi dalam diskusi;
  5. Ada yang bersitegang memikirkan sikapnya sendiri;
  6. Ada amggota yang meyakinkan bahwa dirinya lebih mengetahui banyak dari yang lain;
  7. Terkadang timbul konflik pribadi karena penggunaan kata-kata yang kurang bijaksana;
  8. Adanya kecenderungan beberapa anggota menyetujui konsesnsus yang semu.

Interaksi belajar kelompok bermacam-macam baik dilihat dari segi cara atau teknik pelaksanaan maupun dan segi bentuk penyelenggaraannya. Dari segi cara atau teknik pelaksanaannya, interaksi belajar kelompok dapat dibagi menjadi dua, yaitu debat dan diskusi. Dalam debat terdapat dua kelompok, mempertahankan pendapat yang saling bertentangan. Audience/pendengar dijadikan sebagai pihak yang menilai dan memutuskan mana pendapat yang benar dan yang salah. Diskusi merupakan musyawarah untuk mencari titik-titik pertemuan pendapat dari sekelompok orang tentang suatu masalah. Berbeda dengan debat, diskusi dipimpin oleh seorang moderator yang mengatur jalannya diskusi.

Dari bentuk penyelenggaraannya, interaksi kelompok sebagi berikut :
  1. Diskusi kelompok (group discussion), yaitu diskusi yang anggota-anggotanya dibagi dalam kelompok kecil, masing-masing mendiskusikan masalah tertentu. Di akhir pertemuan masing-masing ketua kelompok membacakan kesimpilan di hadapan semua kelompok.
  2. Diskusi panel, yaitu diskusi yang hanya dilakukan oleh beberapa orang saja (antara 3-7 orang). Dari diskusi para panelis itu, peserta dapat memahami maksud yang terkandung dalam masalah yang didiskusikan sehingga dapat merangsang pendengar untuk berpikir dan mendiskusikannya dalam kelompok-kelompok kecil.
  3. Konferensi. Dalam konferensi anggota duduk saling berhadapan dan mendiskusikan suatu masalah. Setiap peserta harus memahami bahwa kedahiranya, harus sudah mempersiapkan tentang pendapat yang akan diajukan.
  4. Simposium. Pelaksanaan symposium dapat menempuh dua cara sebagai berikut : (a) mengundang dua orang pembicara atau lebih sebagai pemrasaran. Masalah yang dibahas sama, namun masing-masing menyoroti dari sudut pandangannya sendiri, (b) membagi masalah ke dalam beberapa aspek dan setiap aspek dibahas oleh seorang pemrasaran, lalu disoroti oleh penyanggah umum yang akan menyoroti prasaran dan pemrasaran. Setelah itu barulah kesempatan diberikan kepada audience untuk menanggapinya.
  5. Seminar. Pembahasan seminar bertolak dari kertas karya yang disusun oleh pemrasaran yang berisi uraian teoritis sesuai tema. Diawali oleh pandangan umum atau pengarahan dari pokok-pokok pikiran yang berhubungan dengan tema seminar. Setelah itu, audience diberi kesempatan untuk menyampaikan pendangan, pertanyaan, dan lain-lain.
  6. Musyawarah belajar (workshop). Kegiatan musyawarah ini dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam bidang pekerjaan atau profesi yang sejenis. Pelaksanaan workshop biasanya dengan mengundang seorang atau beberapa orang ahli (expert) sebagai konsultan yang akan mendampingi kelompok dalam mendiskusikan, mempelajari dan merumuskan sebgaai kesimpilan. Adapun langkah-langkahnya : (a) pemetaan masalah yang dihadapi, (b) membentuk kelompom sesuai jumlah masalah, (c) masing-masing kelompok membahas persoalan yang telah dipetakan, (d) bila waktunya cukup, acara dapat dikembangkan, ceramah, diskusi, karya wisata dan belajar diperpustakaan, dan (e) hasil workshop disampaikan dalam sidang paripurna lengkap untuk dibahas sebagai bahan kesimpilan workshop. 
  7. Sosiodrama (permainan peran). Sisiodrama merupakan alat pengajaran massal, pendengar harus benar-benar mengikuti jalannya sosiodrama. Pada akhir sosiodrama, pada suatu titik dimana telah timbul beberapa alternatif pemecahan soal yang disosiodramakan, pendengar dimintai pendapat lalu dipilih orang-orang tertentu untuk tampil kedepan mensosiodramakan persoalan menurut pandangan mereka. 
  8. Psikodrama. Psikodrama adalah bentuk sosiodrama khusus mengenai peranan-peranan dan persoalan psikologik, misalnya dalam membahas situasi yang bergolak antar pimpinan suatu perusahaan dengan para karyawan dalam menyelesaikan persoalan manajemennya. Dalam psikodrama biasnaya dilaksanakan dengan bantuan psikologi, ahli peneliti, pedagog dan tokoh-tokoh kelompok tertentu.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Variasi Interaksi Dalam Belajar"

Post a Comment