Tipologi Lembaga Pendidikan Islam. Bagian 2

Perkembangan Institusi Pendidikan Islam
Dalam pendidikan Islam, dikenal banyak sekali institusi dan pusat pendidikan dengan jenis, tingkatan, dan sifatnya yang khas. Para pemerhati pendidikan Islam seperti; Ahmad Syalabi, Muhammad Saepudin Mashuri, Atiyyah al-Abrasyi, Hisyam Nasyabe, Mehdi Nakosten, George Makdisi, dan Syyed Hossen Nasr menyebut institusi pendidikan Islam sebagai berikut: Kuttab, Qushur, Hawanit al-Warraqain, Zawiyah, Khandaq (Ribat), Manazil al-‘Ulama, Salunat al-Adabiyah, Halaqah, Maktabat, Bimaristan wa al-Mustasyfayat, Masjid wa al-Jami’, dan Madrasah. Ahmad Syalabi dan George Makdisi mengklasifikasi institusi tersebut menjadi dua, yaitu; kelompok pra madrasah dan pasca madrasah (Ahmad Syalabi, 1960: 33). Sesuai dengan topik tulisan ini, maka fokus kajiannya adalah sejumlah institusi pendidikan Islam pra madrasah sebagai langkah awal dari proses transformasi pendidikan dalam Islam. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang berbagai institusi tersebut, maka akan diuraikan sebagai berikut: 


1. Kuttab

Institusi pendidikan Islam tipe ini merupakan tempat pembelajaran dasar-dasar Alquran melalui ketrampilan menghafal dan menulis, khusus bagi anak-anak yang belum remaja. Karena itu, tujuan utama didirikan lembaga pendidikan kuttab adalah tempat menghafal Alquran dan mengajarkan ketrampilan membaca dan menulis bagi anak-anak muslim. Kemunculan lembaga pendidikan jenis ini telah dimulai sejak masa Rasulullah saw., yaitu pembelajaran khusus bagi anak-anak muslim yang belum bisa baca tulis dilakukan oleh tawanan perang atas perintahnya. Pada masa awal Islam, kuttab menempati posisi yang sangat penting dalam pengajaran Alquran, sebab menghafal Alquran menjadi tradisi yang mendapatkan kedudukan terhormat di kalangan pemimpin dan umat Islam. Pada saat ini adalah menjadi fenomena yang tidak mengejutkan, jika Alquran tidak hanya dipelajari melalui lembaga khusus, tetapi juga mendapatkan perhatian serius dari penguasa, ulama’ dan orang kaya. Para peserta didik yang telah menghafal dan memiliki wawasan tentang Alquran, diajarkan ibarat-ibarat dalam ilmu Nahwu dan bahasa Arab. Disamping itu, juga diajarkan ilmu hitung, sejarah tentang bangsa Arab pra Islam dengan metode pembelajaran yang lebih mengutamakan aspek hafalan (Philip K. Hitty, 1974: 408). 

2. Manazil Ulama’ (Rumah Kediaman Para Ulama’)
Tipe lembaga pendidikan ini termasuk kategori yang paling tua, bahkan lebih dulu ada sebelum halaqah di masjid. Rasulullah saw. dan para sahabat menjadikan rumahnya sebagai markas gerakan pendidikan yang terfokus pada aktivitas pengajaran akidah dan pesan-pesan Allah swt. dalam Alquran untuk disampaikan kepada masyarakat. Selain Dar al-Arqam, baik pada periode Makkah maupun Madinah, sebelum didirikan masjid Quba, Rasulullah saw. menggunakan rumah kediamannya untuk kegiatan pembelajaran umat Islam. Rumah Rasulullah saw. selalu ramai, sebab setiap saat orang berduyun-duyun datang menimba ilmu, sehingga fungsi rumah sebagai tempat istirahat yang nyaman dan damai menjadi terusik (tereduksi). Maka turunlah ayat yang menetapkan aturan yang berkenaan dengan pemilik dan fungsi rumah sebagai tempat yang harus di jaga kenyamananya di kalangan umat Islam, termasuk hubungan antara para sahabat dengan Rasulullah saw. dalam proses pendidikan. 

3. Masjid dan Jami’
Masjid dan Jami’ adalah dua tipe lembaga pendidikan Islam yang sangat dekat dengan aktivitas pengajaran agama Islam. Kedua terma ini, pada dasarnya memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagai tempat ibadah dan pengajaran agama Islam. Kemunculan masjid sebagai lembaga pendidikan dalam Islam telah dimulai sejak masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin, sedangkan jami’ muncul kemudian dan banyak didirikan oleh para penguasa dinasti, khususnya Abbasiyah. Beberapa jami’ yang terkenal pada masa Abbasiyah antara lain; Jami’ Amr bin Ash, Jami’ Damaskus, Jami’ al-Azhar dan masih banyak yang lain (Ahmad Syalabi, 1960: 87-88). 

Dengan demikian, pendidikan Islam dan masjid merupakan suatu kesatuan yang integral, dimana masjid menjadi pusat dan urat nadi kegiatan keislaman yang meliputi kegiatan keagamaan, politik, kebudayaan, ekonomi, dan yudikatif. Mulai sejak masa Rasulullah saw. dengan masjid Quba dan Nabawi hingga masjid Baghdad pada masa dinasti Abbasiyah, masjid selalu menjadi alternatif utama dalam penyelenggaraan pendidikan Islam (Charles Michael Stanton, 1994, h. 23). Dari masjid, kemudian berkembang menjadi masjid khan sebagai tempat pemondokan bagi pencari ilmu di lingkungan halaqah masjid dari berbagai wilayah Islam. 

4. Qushur (Pendidikan Rendah di Istana)
Pendidikan anak bangsawan di kalangan istana berbeda dengan pendidikan anak umat Islam pada umumnya. Di istana, metode pendidikan dasar dirancang oleh orang tua murid yang menjadi khalifah dan penguasa pemerintah agar selaras dengan minat, bakat, dan keinginan orangtuanya. Metode pembelajaran yang diterapkan, pada dasarnya sama dengan metode belajar anak-anak di kuttab, hanya ditambah dan dikurangi sesuai dengan kebutuhan kalangan bangsawan istana dalam menyiapkan putera mereka memikul tanggung jawab negara dan agama di masa selanjutnya. Tenaga pengajar di lembaga pendidikan ini disebut muaddib. Mereka diberikan tempat tinggal di lingkungan istana dengan tugas mengajar berbagai disiplin ilmu, terutama yang berkaitan dengan peningkatan wawasan keislaman dalam bidang Alquran, hadis, syair dan sejarah peradaban manusia saat itu. Putera-putera istana terus digembleng dengan metode semacam ini sampai mereka melewati masa kanak-kanaknya. Kemudian, mereka beralih dari siswa kuttab ke tingkat mahasiswa di halaqah masjid atau madrasah. Misalnya; salah seorang muaddib terkenal yang diberikan tugas oleh khlifah Harun al-Rasyid adalah al-Ahmar untuk mendidik puteranya, al-Amin (Ahmad Syalabi, 1960: 46-48). 

5. Hawanit al-Warraqain (Toko-toko Buku)

Pada awal pemerintahan dinasti Abbasiyah di Baghdad, lembaga pendidikan Islam dalam bentuk toko-toko buku telah bermunculan di pusat-pusat kota, selain sebagai agen komersialisasi berbagai buku ilmiah juga menjadi pusat pembelajaran umat Islam melalui metode diskusi mengenai isi buku yang dicari atau ditawarkan. Kemudian, lembaga pendidikan ini menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah kekuasaan Islam saat itu.
Mengutip pendapat al-Yaqubi, Hitty menjelaskan bahwa pada masa itu, sekitar tahun 891 M terdapat pusat pertokoan yang berjejer lebih dari seratus toko buku dalam satu jalan. Beberapa toko buku itu merupakan stan (kamar) yang lebih kecil ukurannya dari surau, tetapi terdapat juga kamar yang lebih besar yang berfungsi sebagai pusat penelitian hasil karya seni dan menjadi taman wacana bagi pengembara ilmu yang datang dari berbagai wilayah Islam. Toko buku, selain sebagai tempat menjual buku juga digunakan sebagai pusat diskusi tentang berbagai karya sastra oleh para cendekiawan dan pujangga (Philip K. Hitty, 1974: 414). 

6. Salunat al-Adabiyah (Majlis Sastra)

Lembaga pendidikan Islam dalam bentuk majlis sastra mulai populer berkembang secara formal sejak masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah, tetapi keberadaannya telah dimulai sejak masa Khulafaur Rasyidin. Di lembaga ini, umat Islam belajar tentang berbagai syair, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Persia yang berhubungan dengan agama Islam dan kondisi kehidupan sosial-budaya masyarakat secara menyeluruh. Pada masa Abbasiyah, selalu diadakan perdebatan dan diskusi tentang keahlian bersyair diantara sastrawan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk juga perlombaan di antara para seniman dan pujangga, khususnya dalam bidang kaligrafi Alquran dan arsitektur. Lembaga pendidikan ini menjadi salah satu corong pemerintah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang seni dan budaya umat Islam sehingga mampu menghasilkan karya seni dan budaya yang menakjubkan saat itu (Mehdi Nakosten, 1989: 51). 

7. Maktabah (Perpustakaan)
Lembaga pendidikan Islam ini menjadi suatu cara bagi para pencinta ilmu masa dahulu dalam menyebarkan ilmu. Disamping harga buku yang mahal dan tidak semua umat Islam dapat memilikinya, mereka juga menginginkan suatu tempat yang bisa menjadi pusat koleksi karya-karya mereka, sehingga mudah diakses oleh umat. Perpustakaan tersebut terbuka untuk umum tanpa dipungut biaya dan orang-orang yang bekerja di lembaga ini digaji oleh penguasa. Misalnya; perpustakaan Iskandariyah dan Baitul al-Hikmah pada masa dinasti Abbasiyah. 

Pada masa selanjutnya, lembaga pendidikan Islam dalam bentuk perpustakaan ini menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam, bukan lagi menjadi tempat kegiatan interaksi pembelajaran umat. Disamping tempat mengoleksi buku-buku karya ilmiah dari dunia Islam dan asing juga digunakan sebagai tempat penelitian, observasi, dan laboratorium percobaan ilmiah (Hisyam Nasyabe,1989: 20). 

8. Bimaristan dan Musytasyfa (Klinik dan Rumah Sakit)
Lembaga pendidikan Islam dalam bentuk bimaristan (klinik) ini telah memberikan sumbangan yang besar terhadap pertumbuhan dan pengembangan keilmuan dalam bidang kesehatan dan pengobatan. Bimaristan, selain berfungsi sebagai tempat pengobatan berbagai penyakit juga menjadi pusat pengajaran ilmu kesehatan. Bimaristan pertama yang memainkan kedua fungsi tersebut adalah didirikan oleh Walid bin Abd. Malik tahun 88 H. Sama halnya dengan bimaristan, rumah sakit rumah sakit juga termasuk salah satu institusi pendidikan Islam yang penting, sebab kebanyakan pengajaran ilmu kesehatan dan klinis dilakukan di tempat ini. Tradisi yang berkembang saat itu, yaitu pengajaran aspek teoritis ilmu kedokteran diberikan secara mendalam di masjid atau madrasah. Sedangkan dimensi praktisnya dilakukan di musytasyfa yang banyak memiliki perpustakaan dan sekolah yang memang secara khusus di desain untuk tujuan aplikasi teori-teori pengobatan secara medis (Ruswan Tyoib, 1998: 62).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tipologi Lembaga Pendidikan Islam. Bagian 2"

Post a Comment