Disruption Era: Bagaimana Pendidikan Islam Membentuk Karakter Islami?

Disruption Era: Bagaimana Pendidikan Islam Membentuk Karakter Islami?. -- Pendidikan merupakan suatu usaha nyata yang harus tetap di usahakan. Karena pendidikan juga merupakan sebuah pilar penting dalam sebuah negara. Yang mana seperti yang kita ketahui bahwa berdirinya suatu bangsa khususnya bangsa Indonesia tidak terlepas dari peran penting kaum-kaum terdidik lewat pendidikan formal maupun non-formal tanpa harus melupakan peran seluruh elemen bangsa.

Tak lupa pula peran pendidikan Islam lewat pondok pesantren jaman dulu, yang tidak hanya membentuk karakter remaja dan pemuda yang islami, tetapi juga menjadi remaja dan pemuda yang nasionalis yang di buktikan dengan ikut andilnya santri dalam memperjuangkan kemerdekaan.

(Gufron, 2019) mengungkapakan bahwa Resolusi Jihad yang dicetuskan K.H. Hasyim Asy’ari merupakan aksi nyata peran santri dalam menjaga keutuhan tanah  airnya dari penjajah yang ingin menguasai kembali negara Indonesia.

Namun, era sekarang adalah era yang sangat jauh berbeda dengan sebelumnya. Semua elemen dan bidang kehidupan di segala lini dituntut untuk terus beradaptasi dan mengikuti perkembangan tekhnologi. Disruption Era adalah istilah yang dipakai jaman sekarang, dimana sebuah kondisi yang berubah begitu cepat lewat inovasi secara massif merubah seluruh tatanan kehidupan, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan Islam.


 Sesuatu barang ataupun system yang awalnya dibanggakan bisa saja berubah menjadi diabaikan akibat perubahan jaman. Sebaliknya juga, suatu barang atau system yang dianggap buruk berubah menjadi lebih bagus dan berbeda lantaran tekhnologi informasi perkembangan jaman.

Lalu, bagaimana dengan pendidkan Islam sekarang? Sudahkah pendidikan Islam beradaptasi di Disruption Era yang tidak hanya mengubah pendidikan, tetapi juga mengubah perilaku remaja?

Perkembangan tekhnologi yang begitu cepat berkembang pesang memberi pengaruh besar pada perubahan remaja di Disruption Era ini. Segalah hal yang serba instan, cepat dan muda di akses oleh segala kalangan. Pesatnya tekhnologi membawa kabar baik sekaligus kabar buruk.

Dalam bidang pendidikan kita bisa mengakses buku dimana dan kapan saja lewat teknologi. Tetapi, pesatnya tekhnologi di ikuti juga oleh pesatnya kemerosotan moral remaja. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di sosial media yang menyajikan berbagaimacam informasi dan konten, kalau tidak di saring dengan baik dan bijak bisa menjadi dampak buruk seperti konten kekerasan, pornografi, kriminalitas, dll.

Menurut laporan data dari Komisi Pertolongan Anak Indonesia (KPAI) dalam (Nudin, 2020) , sejak 2017 terdata sebanyak 22 laporan masalah, 46 yang terlibat masalah kecanduan dan penyalahgunaan narkoba. Sejumlah 87 orang yang terlibat masalah hukum di usia dibawah 18 tahun, serta menjadi pengedar narkoba sebanyak 1,6 juta anak. Serta masih banyak lagi kasus-kasus lain yang tercatat sejak 2017, mulai dari fenomena LGBT, seks bebas, dan hamil duluan yang menyebabkan banyaknya kasus pembuangan bayi.

Melihat data tersebut sungguh sangat memprihatinkan, fakta yang paling menyedihkan yang telah terjadi dari tahun ke tahun. Demoralisasi pada remaja terjadi bukan hanya karena faktor ekonomi dan pendidikan, tetapi juga jauhnya remaja dari tuhanya.

Menurut Syahidin dalam (Abdul Majid dkk., 2015) mengungkapkan bahwa saat ini generasi milenial lebih unggul dalam bidang sains dan tekhnologi, dan sangat kurang dalam kecerdasan emosianal dan spiritual. Lebih lanjut lagi Ia mengungkapkan persoalan ini terjadi akibat adanya pemisahan dikotomi pemikiran antara sains dan tekhnologi dengan agama.

Disisi lain juga (Nudin, 2020) mengatakan bahwa pendidikan Islam masih terkekang dalam romantisme masa lalu yang sumber-sumbernya masih mengacu pada buku kuning dan di paksa cocok untuk menjawab persoalan kontemporer yang semakin menjamur. Maka, perlu inovasi penyatuan tekhnologi dalam ranah pendidikan Islam.

Mengikuti perkembangan jaman atau ditelan mentah-mentah oleh jaman, itu saja pilihanya. Dilihat dari berbagaimacam permasalahan yang telah dipaparkan, maka perlu adanya gagasan baru pendidikan Islam untuk mengatasi masalah-masalah kontemporer dan demoralisasi remaja. Paling tidak ada tiga hal penting, yaitu: creative innovation, penyatuan kembali pemahaman dikotomi pemikiran antara sains dan tekhnologi dengan agama, dan peran orangtua dan sekolah.

Yang pertama, creative innovation. Pendidikan Islam benar-benar dituntut untuk melaksanakan pendidikan sekreatif mungkin lewat tekhnologi informasi karena remaja sekarang lebih condong pada tekhnologi. Yang kedua, dikotomi pemikiran agama dan sains dengan agama.

Dalam hal ini perlu adanya keterlibatan sains dan tekhnologi dalam menyebarkan paham agama pada remaja agar tidak adanya pemisahan dan kecenderungan hanya pada satu sisi saja. Beradaptasi tanpa harus melupakan dan meninggalkan ajaran-ajaran lama. Yang terakhir, peran orangtua dan sekolah.

Sekolah atau pendidikan Islam bisa mengadakan sebuah acara atau kegiatan yang bisa mengumpulkan siswa dalam rangka penguatan emosianal dan spiritual, dan orangtua sebagai follower up yang akan menindaklanjuti kegiatan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid dkk. (2015). Strategi Pendidikan. 3(2), 03.

Gufron, I. A. (2019). Santri dan Nasionalisme. Islamic Insights Journal, 1(1), 41–45. https://doi.org/10.21776/ub.iij.2019.001.01.4

Nudin, B. (2020). Konsep pendidikan Islam pada remaja. LITERASI (Jurnal Ilmu Pendidikan), XI(1), 63–74.

Penulis: Abubakar Sidik (Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP UM Surabaya)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Disruption Era: Bagaimana Pendidikan Islam Membentuk Karakter Islami?"

Post a Comment