Karena Didikan Kerasku, Aku Dianggap Kakak yang Dzalim

Karena Didikan Kerasku, Aku Dianggap Kakak yang Dzalim

Aku adalah seorang pensiunan dosen. Di masa tuaku kini, aku tinggal memetik hasil kerja kerasku. Kerja keras dalam pekerjaanku mengais rejeki dan kerja keras dalam mendidik anak-anakku. Dua dari anakku sudah bekerja, dan gadis bungsuku masih kuliah. Ya, aku memang mendidik mereka dengan keras tapi bukan berarti aku memaksakan kehendak. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa kehidupan ini keras dan hanya bila kita membentengi diri kita dengan tanggung jawab dan kedisiplinan, maka kita akan bisa menaklukkan kerasnya hidup.

Namun, keberhasilanku mendidik anak-anakku ternyata tidak terjadi saat aku mendidik adik perempuanku. Aku gagal! Seandainya saja dia tahu bahwa sikap kerasku padanya karena aku begitu menyayanginya. Aku ingin menjaganya seperti menjaga ibu kami. Aku marah bila dia melewati batas jam pulang malam. Aku memukulnya! Ku kira kemarahan dan pukulan itu bisa membuatnya sadar. Ternyata aku salah, sebaliknya dia menganggap aku dzalim padanya.

Sejak kecil aku telah bekerja keras. Hal utama yang ku lakukan memang belajar. Aku harus cerdas. Kami miskin! Ayah hanya tukang cukur, apalgi dia beristeri tiga. Sedangkan ibu hanya seorang guru mengaji. Nur, adik perempuanku satu-satunya yang usianya beda dua belas tahun dariku. Sejak umur dua belas tahun aku sudah harus memikirkan cara untuk bisa mendapatkan penghasilan. Hanya otakku ini yang ku harapkan bisa ku gunakan untuk itu. Aku mengajar les privat untuk anak SD, bahkan akupun sudah bisa memberi les privat untuk siswa kelas 3 SMP, walaupun aku masih duduk di kelas 1 SMP.

Aku tak pernah mengeluh walaupun di usia semuda itu aku harus memikirkan bagaimana mencari nafkah, karena cintaku pada ibu dan Nur sangatlah besar. Aku tak mau ibu bersusah-susah, beliau sudah terlalu menderita, lahir dan batin. Ayah? Tak banyak yang bisa diharapkan darinya. Dia berada di rumah kami  hanya dua hari dalam seminggu. Saat datang pun hanya perih yang ditinggalkannya untuk kami, terutama untuk ibu. Tak jarang pukulan dilayangkannya di tubuh ibu, namun aku takkan pernah membiarkan ibu kesakitan. Aku akan selalu ada menutupi tubuh ibu dengan tubuhku. Aku tak peduli seperti apa rasa sakitnya, bahkan terkadang pukulan ayah membuatku sampai pingsan.

Kemiskinan dan penderitaan ibu membuatku terus berjuang. Aku sekolah sambil bekerja. Aku berjuang untuk mendapatkan beasiswa hingga gelar S2 ku peroleh. Sampai akhirnya hidupku telah mapan, ku bawa ibu dan adikku ke rumah baru yang lebih layak untuk tinggal bersamaku dan isteriku. Kerja keras dan tentu doa dari ibuku telah membawaku pada kesuksesan. Tentu saja, kini aku pun ingin adikku Nur memperoleh hal yang sama. Aku ingin dia bisa menjadi sarjana dan menjadi seorang guru. Aku pun membiayai kuliahnya, ku berikan apapun yang bisa membuatnya nyaman agar menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Karena itu aku bertekad untuk menjaga Nur dengan baik. Tak ku ijinkan dia pergi hingga larut malam. Aku takut pergaulan di luar rumah membawa dampak negatif untuknya. Aku hanya mau dia fokus pada pendidikannya.

Namun, kejadian malam itu menjadi awal dari hancurnya harapanku. Nur pergi bermain bersama teman-temannya dan pulang larut malam. Aku marah! Aku memang marah. Tapi itu karena kekhawatiranku padanya. Saat itu belum ada telepon genggam. Tak bisa berkomunikasi semudah saat ini. Saat Nur tiba di rumah, aku menatap penuh amarah padanya. Semua rasa yang berkecamuk di dadaku ku lampiaskan di pipinya. Aku menamparnya! Sebulir darah keluar dari hidungnya. Ibu menangis menyaksikan kejadian itu. Tanganku bergetar. Setelah itu aku pun menangis di dalam kamarku. Nur, sesungguhnya sikap keras kakak kepadamu selama ini bukan karena kakak membencimu. Justru karena kakak terlalu menyayangimu. Tak sadarkah kau akan hal itu?

Ya, ternyata Nur tak menyadarinya. Dia pergi dari rumah. Ibu terus menangis saat mengetahuinya. Dan aku? Tentu hatiku perih melihat ibu bersedih. Terlebih perih karena adikku menyalahartikan sikap kerasku padanya. Aku pun berusaha mencarinya, tapi nihil tak ada yang tahu kemana dia pergi. Dia berhenti kuliah. Sampai akhirnya setelah tiga bulan meninggalkan rumah, ia kembali. Ibu sangat bahagia, begitupun aku. Meski, wajah marah yang ku nampakkan saat melihat wajahnya, tetapi di dalam hatiku aku sangat bersyukur. Adik tercintaku sudah pulang.

Berbagai rencana masa depan Nur kembali ku persiapkan. Nur harus melanjutkan kuliahnya. Namun semua niatku itu harus musnah. Nur mengakui dirinya sudah ternoda. Aku kembali marah! Hatiku hancur luluh lantah. Namun aku begitu menyayanginya. Tak akan ku biarkan aib itu menghancurkannya. Ku carikan dia jodoh. Seorang bekas mahasiswaku yang baru saja diangkat menjadi PNS ku rasa cocok untuknya. Usianya yang sudah matang ku harap mampu membimbing Nur. Ku perkenalkan mereka. Aku memang telah menawarkan pernikahan kepada mereka, tapi selanjutnya ku biarkan pada keputusan Nur. Entahlah apakah Nur telah jujur pada laki-laki itu atau tidak, yang pasti mereka berdua telah setuju pernikahan itu diadakan. Aku membiayai pernikahan mereka. Ku buat pesta yang layak untuk adik perempuanku satu-satunya yang ku sayangi itu.


Di tengah kesuksesanku, tentu aku tak lupa beribadah. Bukankah semua ini terjadi atas ijin dariNya? Naik haji sudah ku lakukan. Aku rutin menjadi donatur pembangunan masjid. Entahlah bila ada yang mengatakan aku riya. Tapi sesungguhnya pesan yang ingin ku sampaikan adalah bahwa jangan pernah melupakan Allah dan bersyukur atas rejeki dariNya. Saat namaku diumumkan di masjid kampung sebagai donatur terbesar pembangunan masjid, sesungguhnya bukan karena aku riya. Aku hanya berharap nama yang disebut itu akan selalu menjadi motivasi kepada anak-anak kampungku, nama itu adalah nama anak yang dulu sangat miskin. Namun aku tak bisa memaksakan semua orang untuk berpikir seperti itu, karena baru ku tahu ternyata ada yang menyebutku seperti Haji Muhidin di serial 'Tukang Bubur Naik Haji'.

Setelah pernikahan adikku, waktu terus berlalu hingga dia telah memiliki lima orang anak kini. Saat anak pertamanya masuk kuliah, Nur meminjam uang padaku sepuluh juta rupiah. Ku berikan. Setahun kemudian anak keduanya juga masuk kuliah. Kembali Nur datang padaku untuk meminjam uang dua puluh juta rupiah. Ku berikan lagi. Aku tak pernah memberikan jangka waktu pengembalian padanya apalagi mengenakan bunga. Tapi aku berharap Nur memiliki niat untuk mengembalikan, bukan hanya sekedar kata-kata, tapi sebuah upaya. Bahkan mungkin seribu rupiah pun dia mengangsur akan tetap ku terima. Sungguh, bukan karena aku pelit padanya atau menghitung-hitung bantuanku tapi aku tak ingin dosa hutang menimpanya. Itu karena aku menyayangimu Nur, bahkan untuk dosamu pun aku memikirkannya. Akan tetapi Nur belum pernah mencoba mengangsur hutangnya sampai tahun berikutnya dia datang lagi untuk meminjam uang dariku. Empat puluh juta rupiah. Jumlah yang disebutnya itu membuat mataku terbelalak. Bagaimana tidak jumlah itu jauh lebih besar dari jumlah hutangnya sebelumnya.

"Jumlah itu tak seberapa dari jumlah hartamu, Kak. Kakak baru saja menjual tanah bahkan baru membelikan anak bungsu kakak mobil. Apalah arti empat puluh juta rupiah itu bagimu. Tapi aku sangat membutuhkannya sekarang. Anak-anakku harus membayar biaya sekolah."

Aku marah! Ya aku kembali marah pada Nur. Bukan aku tak mau membantunya. Tapi aku marah karena ternyata hingga kini Nur belum menyadari kasih sayangku padanya saat ku katakan hutang-hutangnya sebelumnya saja belum dibayar dan Nur memberikan jawaban seperti itu.

Sesaat ku keluarkan lembaran ratusan ribu rupiah dari dompetku. Dua juta rupiah ku berikan pada Nur. "Ambillah ini. Ku berikan padamu sebagai sedekah. Hutangmu yang tiga puluh juta sudah ku anggap lunas. Pergilah dan janganlah datang lagi bila hanya untuk berhutang."

Ku lihat wajahnya memerah, namun ia tetap mengambil uang itu lalu tanpa sepatah kata bergegas meninggalkan rumahku. Dia pergi dan hingga bertahun-tahun tak pernah datang lagi, hingga ku mendapat informasi bahwa Nur susah bercerita pada banyak keluarga dan kerabat serta warga kampung bahwa aku ini adalah 'Kakak yang Dzalim'.

Nur, adikku seandainya engkau tahu sejak dulu bahwa kerasnya didikanku padamu adalah untuk membentuk masa depanmu. Seandainya engkau tahu, kegagalanku menjagamu akan ku pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Seandainya engkau tahu bahwa pelitnya diriku ini adalah justru untuk menolongmu terhindar dari beban hutang yang semakin besar padaku. Aku bilang memberimu sedekah agar kau paham maksudku. Itu bukanlah hinaan. Ada makna yang hendak ku sampaikan, bersedekahlah bila ingin terbebas dari hutang. Aku menganggap lunas hutangmu bukan untuk merendahkanmu, tapi aku tak mau kau memikul dosa hutang padaku.

Namun kini engkau telap melabel aku sebagai 'Kakak yang Dzalim'. Jika menurutmu aku memang dzalim padamu sejak kecil hingga kini, maka aku meminta maaf padamu. Akan tetapi ketahuilah satu hal bahwa dalam kedzalimanku itu, aku menyayangimu sampai kapanpun.

Penulis : Darrellofa Santoso https://www.facebook.com/profile.php?id=100043848701652

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Karena Didikan Kerasku, Aku Dianggap Kakak yang Dzalim"

Post a Comment