Naluri Pengetahuan dalam Pengembangan Penelitian

Semua manusia secara naluriah pada dasarnya selalu ingin mengetahui, demikianlah kalimat pembukaan karya Aristoteles yang bejudul Metaphysica. Tepatnya kalimat tersebut dapat disaksikan pada diri individu atau Perseorangan sejak anak kecil sampai usia lanjut ataupun dalam sejarah perkembangan bangsa manusia sejak jaman purbakala sampai dewasa ini. Pengetahuan itu, baik perseorangan maupun bersama, ternyata terjadi dalam dua bentuk dasar yang berbeda-beda. Dan sulit untuk menentukan mana yang paling berharga atau yang paling penting dari keduanya.Yang pertama ldtlnh “pengetahuan – demi – pengetahuan” Maksudnya, pengetahuan yang berorientasi terutama demi pengetahuan itu sendiri., dan karenanya hanya demi pemuasan hati manusia, sedangkan yang kedua adalah “pengetahuan – untuk- kemanusiaan”. Pengetahuan ini terutama dimaksudkan untuk mrnfaat praktis seperti melindungi diri, memperbaiki tempat tinggal meningkatkan kesehatan dll.

Sumber Ilmu

Secara fenomenologi segala pengetahuan dalam kedua bentuk dasar itu dapat didekati sehingga menjadi realitas yang dapat diamati. Dalam gejala itu kita memisahkan secara rapi, antara “si pengenal” ataupun “yang dikenal” yang satu (entah dalam bentuk si “pengenal” atau “yang dikenali’) tidak pernah ada tanpa tanpa yang lain, dan sebaliknya keduanya merupakan satu kesatuan asasi, memang sebelum sebelum terjadinya tindakan pengetahuan tertentu terdapatlah hanya suatu “subyek yang mungkin pernah akan dikenal suatu subyek tertentu”, tetapi itupun merupakan suatu hubungan kesatuan yang lebih asli dari pada terpisahnya kedua-duanya satu sama lain.

Baca Juga : Proses dan Prosedur dalam Penelitian

Kesatuan asasi antara kedua-duanya itu sudah diungkapkan dalam kutipan aristoteles tadi : ternyata terdapatlah keinginan yang kuat pada diri manusia berdasarkan potensi akal dan hati untuk mengetahui dan mengenal. Jika kita menyelidika apa yang kita saksikan di luar dan di dalam diri kita, ternyatalah tidak terdapat suatu pengetahuanpun memuaskan hati dan akal budi manusia secara tuntas. Segala hasil pengetahuan bersifat sementara dan terbuka. Unsur unsur itu diucapkan para filosof, sebagai ciri intensionalitas. Pengetahuan manusia diuraikan atau kalau dikatakan bahwa ciri khas pengetahuan manusia adalah bertanya sambil mencari (sintesis yang tiada hentinya antara yang “sudah tahu” dan “belum tahu”.

Keterangan yang bertanya-tanya terus itu terjadi dalam suatu hubungan timbal-balik antara manusia dengan dunianya (tentu saja juga termasuk sesame manusia dalam dunia itu) kedua-duanya ingin “mengenal” dan ingin “dikenal” malahan “memperkenalkan diri” agar saling memperkaya dan saling mengembangkan.

Tapi bukan saja keingintahuan merupakan gejala yang menandai setiap manusia, baik pada tahap perseorangan maupun pada tahap social kita harus mengatak juga bahwa keingintahuan hanya terdapat pada manusia dan tidak terdapat padamakhluk lain. Dengan kata lain hanya manusialah yang mempunyai keingintahuan tentang benda-benda disekelilingnya, alam sekitarnya bahkan tentang dirinya sendiri. Hal ini bisa dimengerti karena manusia memiliki struktur kesadaran yang membuatnya tidak dengan begitu saja ditarik atau ditentukan lingkungannya. Jelas kiranya keingintahuan tidak dimiliki oleh benda-benada tak hidup seperti batu, tanah, sungai atau angina. Air dan udara memang bergerak dari satu tempat ke tempat lain, namun geraknya itu bukan atas kehendaknya sendiri tetapi sekedar akibat dari keharusan alamiah. Demikian juga halnya dengan makhluk-makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Sebatang pohon misalnya,kalau ia menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan atau gerakan hal itu terbatas pada mempertahankan kelestatian hidupnya yang bersifat tetap. Misalnya, daun-daun yang selalu cenderung mencari air yang kaya mineral untuk kebutuhan hidupnya. Kecendtungan semacam ini nampak berlangsung sepanjang zaman. Pengetahuan binatang pun bersifat tetap oleh Asimov (1972) disebut sebagai idle curiosity atau di buku lain disebut sebagai instinct (instink). Instink ini berpusat pada satu hal saja yaitu untuk mempertahankan kelestarian hidupnya. Untuk itu mereka perlu makan, melindungi diri dan berkembang biak. Memang manusia juga memiliki instink seperti yang dimiliki hewan, tetapi lain dengan mereka, manusia sebagai mahluk berbudaya memiliki kelebihan yaitu kemampuan berfikir dengan akalnya, serta kemampuan merasa dengan hatinya. Hati nurani manusia secara naluri selalu ingin mengetahui dengan akalnya, ingin memenuhi kebutuhan hidup lebih baik dan lebih layak, sehingga terdorong melakukan perubahan sesuai nafsu keinginan (lawwamah), ingin makan dan minum enak, mendorong manusia untuk mengelola sumber daya alam yang ada sehingga terwujud aneka ragam makanan dan minuman yang sangat bervariasi. Ingin rumah mewah, mendorong manusia untuk rnelakukan inovasi, menerapkan teknologi dan mangadopsi modernisasi. Dari sinilah kemudian lahir kebudayaan, sebagai manifestasi perilaku manusia sesuai latar belakang sistem budayanya. Karena memang hanya manusia yang berkebudayaan. Dengan kata lain, curiosity manusia tidak idle, tidak tetap sepanjang zaman. Karena memiliki kemampuan berfikir, manusia memiliki keingintahuan yang berkembang. Manusia bertanya terus dan tidak hanya puas tentang “apa”nya, tetapi ingin tahu tentang “bagaimana” dan “mengapa”-nya. Manusia mampu menggunakan pengetahuannya yang terdahulu untuk dikombinasikan dengan pengetahuannya yang baru, menjadi pengetahuan yang lebih baru, hal demikian itu belangsung berabad-abad lamanya, sehingga terjadi akumulasi pengetahuan.

Sebagai ilustrasi kita bayangkan saja manusia purba zaman dulu yang hisup di gua-gua atau di atas pohon. Karena kemampuannya berfikir tidak semata mata didorong oleh sekedar kelestarian hidupnya tetapi iuga untuk membuat hidupnya lebih menyenangkan maka mereka mampu membuat rumahdi atas tiang – tiang kayu yang kokoh dan bahkan manusia mampu membuat istana bahkan membuat gedungpencakar langit. Bandingkan dengan burung tempua dengan sarangnya yang indah yang tampak tidak mengalami perubahan sepanjang zaman. Demikian juga harimau yang hidup dalam gua – gua atau monyet yang membuat sarang di atas pohon tidak mengalami perubahan sepanjang zaman.

Baca Juga : Cara Membuat Rumusan Masalah Yang Benar

Pengetahuan pada dasarnya merupakan suatu produk aktifitas dan kreatifita smanusia, berdsarkan potensi aka luntuk berfiki dan hati yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu aksi dan kreasi. Pada prakteknya ilmu pengetahuan ditemukan melalui berbagai asumsi yang sangat bervariasi dalam sebagimana dijelaskan oleh Little John (1996:12-13) berkaitan dengan Creation of Knowledge :

Knowledge by Discovery, The discovery mode is so prevalent in the natural and social sciences that it is assumed by some to be the only appropriate route to knowledge, not just one possible avenue. This approach assumes that the world is outside the mind of the observer and list in wait of discovery. Knowledge in the discovery game is something you “get” by “observing”. The known is thus revealed to or received by the knower, which is why this approach to has been called “the received view”, the standard of good knowledge, in the discovery mode is objective and accurate observation, making validity the goal.

Knowledge by interpretation, for the interpretive scholar, knowledge cannot be discovered, intact because relity is not independent of the human mind, although a set of knowledge event are believed to exist, those events can be understood in a variety useful ways and can never be ascertained purely without the imposition of a set concepts by the knower. Thus, knowledge is transactional product of the knower and the known, because reality can be conceptualized in a variety of ways, the interpretive scholar does not view any one way of seeing the world as best. Although interpretations may be debated and criticized, the underlying assumption is that several theories may be good candidates for expressing what is known

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Naluri Pengetahuan dalam Pengembangan Penelitian"