Kajian Penelitian Bahasa yang Berwawasan Sosiokultural

Kajian Penelitian Bahasa yang Berwawasan Sosiokultural. -- Penelitian bahasa yang berwawasan sosiokultural merupakan kajian yang  banyak diminati oleh para peneliti di beberapa negara. Hal ini terjadi karena fenomena sosiokultural bersifat dinamis, banyak mempengaruhi masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Berikut ini, para peneliti yang mengadakan kajian tentang pengaruh sosiokultural dalam pembelajaran bahasa.
  • Kim, James P. (2002) dari Korea,
Menganalisis komunikasi silang budaya antara penutur asli Korea dengan penulis sebagai penutur bahasa Inggris dari Australia. Dalam hal ini penulis mengambil bahasa Korea dialek Busan sebagai objek penelitian. Dialek Busan mempunyai ciri-ciri penekanan suku kata imnida/imnikka/imniga pada akhiran kata kerja (struktur bahasa Korea adalah SO-V dengan penekanan pada suku kata terakhir).

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan masalah yang muncul dari rincian komunikasi silang budaya. Masalah yang muncul diantaranya pemilihan kata dan bahasa tubuh, karena Korea merupakan penganut konfusianisme, jadi sangat memperhatikan tata krama. Pemilihan kata dan bahasa tubuh saat berbicara dengan orang tua harus dibedakan dengan saat berbicara dengan teman sebaya atau yang lebih muda, hal seperti ini tidak terjadi dalam bahasa Inggris dan ada perbedaan bahasa tubuh antara budaya Korea dengan budaya barat.
 
Penulis menunjukkan contoh rincian komunikasi silang budaya yang berhasil karena kedua orang yang berkomunikasi sudah mengenal budaya masing-masing. Ada juga komunikasi yang membingungkan dikarenakan cultural shock. Dalam penelitian ini juga dibahas mengenai ‘Konglish’(Korean English) yaitu pengembangan kata bahasa Inggris yang dilakukan oleh orang Korea dengan syntax bahasa Korea.
  • Michel Englebert (2004) dari Korea,
Mengetengahkan perbedaan budaya yang ada saat seseorang berinteraksi dengan orang lain dengan budaya yang berbeda yang dapat menimbulkan gesekan yang mengganggu dan bahkan bisa menghancurkan hubungan yang sudah terjalin baik. Untuk mengatasi hal itu bisa digunakan formula D.I.E, dimana D berarti Description, I berarti Interpretation, dan E berarti Evaluation.

Pertama harus dideskripsikan sosiokultural dari lawan interaksi untuk kemudian dibandingkan dengan budaya sendiri. Setelah itu dapat di interpretasikan apakah tingkah laku yang ditunjukkan oleh lawan interaksi dapat dianggap sesuai atau tidak.

Langkah ini membutuhkan pemikiran dan ukuran empati. Dalam hal ini informan budaya sangat dibutukan untuk mengevaluasi tingkah laku yang ditunjukkan dan menentukan tingkah laku yang bagaimana yang harus dipakai. Informan budaya sebaiknya orang yang dekat, selain itu dia sebaiknya orang yang mempunyai budaya yang sama dengan lawan interaksi tetapi sangat mengenal budaya sendiri, sehingga bisa memberi masukan yang tepat untuk mendefinisikan, dan menjelaskan motif dibalik konflik sosiokultural yang terjadi.

Seorang guru bahasa asing harus menjelaskan kepada murid bahwa mereka tidak hanya harus mempelajari bahasa tersebut tetapi juga harus meleburkan diri kedalam suasana sosiokultural dari sang penutur bahasa. Karena itu, selain berperan sebagai guru bahasa, seseorang juga harus berperan sebagai informan budaya yang dapat dipercaya.
  • Mingsheng, Li (2004) dari New Zealand,
Melaporkan temuan pada riset yang diadakan dari Desember 2002 sampai Maret 2003 pada 2 sekolah di New Zealand dengan melibatkan 40 murid dari Asia. Tema yang diperhatikan dalam riset ini diantaranya ialah, pengalaman belajar. Dari riset ini diketahui bahwa tidak semua murid Asia puas dengan pengalaman belajar mereka.

Hal ini tidak mengejutkan karena mereka berasal dari Negara yang mempunyai sosiokultural, etnis dan latar belakang keluarga yang berbeda dengan New Zealand, dan apa yang mereka anggap sebagai pembelajaran yang baik berbeda dengan angapan para guru di New Zealand. Hal yang menjadi komplain mereka di antaranya pendekatan mengajar interaktif yang dianggap buang waktu dan membosankan karena harus melakukan hal yang sama setiap hari, interaksi kelas secara spontan yang dianggap tidak terorganisir, tidak digunakannya textbook dan sumber pengajaran yang pasti, dan kinerja guru yang dianggap tidak maksimal.

Kurangnya keahlian komunikasi interkultural, pedagogis dan pengetahuan linguistik serta lemahnya proses validasi pengajar ESOL saat ini dan komersialisasi praktik pengajaran ESOL untuk mendapatkan keuntungan dianggap sebagai penyebab utama rendahnya kualitas pendidikan yang menyebabkan ketidakpuasan para murid.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kajian Penelitian Bahasa yang Berwawasan Sosiokultural"

Post a Comment