Hubungan Kebudayaan Dengan Pembelajaran Bahasa Kedua.

Hubungan Kebudayaan Dengan Pembelajaran Bahasa Kedua. -- Kebudayaan adalah perhubungan yang mana di dalamnya manusia hidup, berpikir, merasakan, dan berhubungan dengan orang lain. Larson dan Smalley (1972:39) menggambarkan kebudayaan sebagai sebuah ”blue print” atau “cetak biru” yang menuntun perilaku manusia dalam sebuah masyarakat dan ditetaskan dalam kehidupan keluarga.
Kebudayaan mengatur tingkah laku seseorang dalam kelompok, membuat seseorang sensitif terhadap status, dan membantunya mengetahui apa yang diharapkan orang lain terhadap dirinya dan apa yang akan terjadi jika tidak memenuhi harapan-harapan mereka. Kebudayaan membantu seseorang untuk mengetahui seberapa jauh dirinya dapat berperan sebagai individu dan apa tanggung jawab dirinya terhadap kelompok.

Kebudayaan mungkin juga didefinisikan sebagai gagasan-gagasan, kebiasaan, keterampilan, seni, dan alat yang memberi ciri pada sekelompok orang tertentu pada waktu tertentu. Akan tetapi, kebudayaan lebih dari sekadar jumlah dari bagian-bagiannya. “ kebudayaan adalah sebuah sistem dari pola-pola terpadu, sebagian besar tetap berada di bawah ambang sadar.

Namun semuanya mengatur perilaku manusia seperti tali pengatur pada sebuah wayang yang mengatur gerakan-gerakannya” (Condon 1973:4). Kenyataan bahwa tak ada masyarakat yang ada tanpa sebuah kebudayaan menggambarkan perlunya kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan psikologi dan biologis tertentu pada manusia.

Kebudayaan menentukan bagi masing-masing orang sebuah konteks tingkah laku afektif dan kognitif, sebuah template untuk kehidupan sosial dan perseorangan. Namun, seseorang cenderung merasakan kenyataan dalam konteks kebudayaannya sendiri, sebuah kenyataan yang “diciptakan,” dan oleh karenanya tidak perlu sebagai sebuah kenyataan yang didefinisikan secara empiris. “Alam semesta di mana setiap manusia hidup bukanlah sebuah realitas universal, tetapi ‘sebuah golongan relitas’ yang terdiri atas segi yang diatur secara selektif yang dianggap penting oleh masyarakat di mana ia tinggal” (Condon 1973:17).

Dengan demikian jelas bahwa kebudayaan, sebagai seperangkat perilaku yang mendarah daging dan mode dari persepsi, menjadi sangat penting dalam mempelajari bahasa kedua. Bahasa adalah bagaian dari kebudayaan, dan sebuah kebudayaan adalah bagian dari sebuah bahasa. Kedua hal ini berjalin dengan rumit sehingga seseorang tidak dapat memisahkan keduanya tanpa kehilangan arti dari kebudayaan maupun bahasa tersebut. Untuk itu, di dalam mempelajari bahasa kedua seseorang harus menyertakan pula budaya yang dimiliki oleh bahasa kedua.

Karena mempelajari bahasa kedua, dalam hal ini bahasa Inggris termasuk sedikit banyak mempelajari kebudayaan kedua, hal ini penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan proses pembelajaran kebudayaan. Robinson-Stuart dan Nocon (1996) mengumpulkan dan menyatukan beberapa perspektif pada pembelajaran kebudayaan yang dilihat dalam beberapa dekade terakhir ini.

Mereka mengamati bahwa gagasan pembelajaran bahasa dengan sedikit atau tanpa pengertian mengenai dalamnya norma-norma dan pola-pola kebudayaan dari orang-orang yang memakai bahasa tersebut. Perspektif yang lain adalah dugaan bahwa suatu kurikulum bahasa asing dapat menghadirkan kebudayaaan sebagai “sebagai daftar berbagai fakta untuk digunakan secara kognitif” oleh pelajar, tanpa hubungan yang penting dengan kebudayaan tersebut.

Memilah-milah dari perspektif tersebut selain tidak efektif dan salah paham, Robinson-Stuart dan Nocon mengusulkan bahwa para pelajar bahasa menjalani pembelajaran kebudayaan sebagai sebuah “proses, yaitu, sebagai cara merasakan, menafsirkan, menafsirkan perasaan, berada di dunia,…dan berhubungan dengan di mana seseorang berada dan dengan siapa seseorang bertemu” (dalam Brown 2000).

Pembelajaran kebudayaan adalah suatu proses pembagian makna di antara perwakilan-perwakilan kebudayaan. Hal ini bersifat pengalaman, sebuah proses pembelajaran bahasa yang terus-menerus bertahuntahun, dan menembus secara mendalam pada pola-pola pikir, perasaan dan tindakan seseorang.

Budaya sebenarnya adalah bagaian integral suatu interaksi antara bahasa dan pemikiran. Pola budaya kognitif dan kebebasan terkadang diisyaratkan secara ekplisit dalam bahasa, contoh gaya bicara percakapan akan menjadi faktor budaya. Di Yunani, orang lebih sering memperhatikan kelangsungan percakapan dengan maksud supaya percakapan dapat terlihat terbuka atau kasual, atau lebihmementingkan saling bertatapan dari pada percakapan. (Kakava 1995).

Hampir semua gaya bicara diartikan secara ekplisit, baik verbal dan atau non-verbal. Mungkin bentuk ini membentuk persepsi seseorang terhadap orang lain dalam buktinya dengan mereka sendiri. Leksikal mencerminkan sesuatu tetang bagian budaya dan kognisi, kategori warna dinyatakan sebagai faktor leksikon linguistik seseorang.

(Gleason 1961:4) menyatakan bahwa para penutur bahasa Eropa memecah belah spectrum pada bagian yang berbeda. Wilhem Von Humdalk (1767-1835) yang mengklaim bahwa bahasa membentuk seseorang, dia juga mengusulkan hipotesis yang sekarang diberi beberapa tabel alternatif. The Sapir-Whorf hipotesis, linguistic relativity atau linguistic meterminism (1956:212-214) meringkas hipotesisnya menjadi latar belakang sistem linguistic yang menyatakan bahwa tiap bahasa tidak hanya menghasilkan instrument untuk menghasilkan, tapi itu adalah pengaruh ide, program dan petunjuk, aktivasi mental seseorang, untuk analisis pengaruhnya, untuk analisis persiapan mentalny

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hubungan Kebudayaan Dengan Pembelajaran Bahasa Kedua."

Post a Comment