Kedudukan dan Peran Guru sebagai Model dan Teladan
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perubahan
ekonomi dunia begitu melaju pesat melalui inovasi yang terjadi dalam dunia
bisnis dan industri secara mendalam. Hal tersebut ikut menentukan isi dan
kriteria pendidikan sekolah. Dalam waktu dekat, misalnya, ketidakmampuan
mengoperasikan komputer akan didefinisikan sebagai buta huruf (i literacy).
Semua ini menjadi pola massal bukan karena pendidikan (education) menuntutnya,
melainkan karena industrialisme mensyaratkan apa yang oleh Gellner disebut
“modular Man).[1]
Dalam
era pembangunan, perhatian hendaknya berpusat pada peranan sekolah sebagai
“pelaku perubahan,” dan fokus khususnya ialah mengubah manusia. Dengan kata
lain, fungsi utama dari pendidikan ialah mengubah manusia kearah yang di
inginkan. Untuk itu sekolah harus menjadi tempat manusia tumbuh dan berubah
menjadi pribadi seutuhnya.
Kepemimpinan
yang efektif bagi perubahan datang dari orang orang yang ingin tumbuh dan
berfungsi sepenuhnya. Pentingnya peranan pendidikan bagi perubahan sosial,
kultural, ekonomi dan politik harus ditekankan.[2]
Managemen
tenaga kependidikan (guru dan personil) pencakup (1) perencanaan pegawai, (2)
pengadaan pegawai,(3) pembinaan dan pengembangan pegawai (4) promosi dan
mutasi, dll. Semua itu perlu dilakukan dengan baik dan benar agar apa yang
diharapkan bisa tercapai, yakni tersedianya tenaga kependidikan yang diperlukan
dengan kualifikasi dan kemampuan yang sesuai serta dapat melaksanakan pekerjaan
dengan baik dan berkualitas.[3]
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Guru
Dahulu dan Sekarang
Peranan
guru zaman dulu dan sekarang sudah sangat berbeda. Kalau dulu, guru dianggap
sebagai orang yang banyak tahu dan karenanya masyarakat datang kepada guru.
Adapun sekarang guru melebur diri dalam masyarakat dan mengambil prakarsa
secara proaktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Guru tidak lagi duduk
di “singgasana” yang terhormat dan menikmati status kultural yang memang saat
itu sangat tinggi.
Kata
orang (orang jawa) ‘guru’ adalah singkatan dari ungkapan “digugu lan ditiru”.
Artinya guru adalah orang yang harus ditaati dan di ikuti. Tetapi menurut
pendapat lain, ‘guru’ sebenarnya berarti “wagu tur saru”. Artinya sudah tak
seronok, memalukan lagi!
Kedua
interpretasi ini tentu saja hasil dari kotak katik semantik, suatu latihan
mental yang digemari masyarakat Jawa. Ilmu kotak katik ini biasa disebut
keratabasa, yaitu semacam etimologi rakyat.
Sekarang,
manakah yang lebih benar diantara kedua ungkapan tersebut? Ungkapan pertama, “digugu lan ditiru” yang merupakan
idealisasi tentang guru. Melalui ungkapan ini, masyarakat jawa mencanangkan
suatu model tentang guru, bahwa seorang guru harus selalu memikirkan
perilakunya, karena segala yang dilakukannya akan ditiru oleh murid murid dan
masyarakatnya. Ungkapan kedua, “wagu tur saru”, merupakan suatu karikatur,
suatu ejekan. Karikatur ini dapat kita pandang sebagai antimodel, yaitu contoh
mengenai apa yang sebaiknya tidak ditiru.
B. Guru Masa Depan
Di
negara manapun, guru diakui sebagai profesi. Guru diagungkan, disanjung,
dikagumi karena perannannya yang sangat penting. Namun peran ini, menurut
Gerstner, akan berubah di masa depan, yakni abad ke- 21. Perubahan berpusat
pola relasi antara guru dengan lingkungannya, seperti dengan sesama guru,
siswa, orang tua, dan kepala sekolah, dengan teknologi dan karirnya sendiri.
Guru tidak lagi tampil sebagai “pengajar” (teacher) seperti menonjol fungsinya
selama ini, melainkan sebagai pelatih, konselor, manajer belajar, partisipan,
pemimpin dan pelajar.
Sebagai
pelatih, guru akan berperan ibarat pelatih olahraga. Ia akan lebih banyak
membantu siswa dalam “permainan”. Bedanya permainan itu adalah belajar (game of
learning). Guru juga mendorong siswanya untuk menguasai alat belajar,
memotivasi siswa untuk bekerja keras dan mencapai prestasi setinggi tingginya,
bekerjasama.
Sebagai
konselor, guru akan menjadi sahabat siswa, teladan dalam pribadi yang
mengundang rasa hormat dan keakraban dari siswa. Struktur kelas, letak meja dan
kursi akan menjadi penghambat psikologis antara keduanya. Selanjutnya akan
tercipta suasana sekolah dalam sekolah “School Within School”, dimana siswa
belajar dalam kelompok kelompok kecil dalam bimbingan guru.
Sebagai
manager belajar, guru akan bertindak ibarat manajer perusahaan. Ia membimbing
siswanya belajar, mengambil prakarsa, mengeluarkan ide ide terbaik yang
dimilikinya. Namun di pihak lain, ia merupakan bagian dari siswa, ikut belajar
bersama mereka sebagai “pelajar”. Guru juga belajar dari teman seprofesinya
melalui model “team teaching” yang juga sudah kita kenal (Dedi Supriadi:
334-335).
Paradigma
baru dalam sistem pembelajaran adalah siswa harus menjadi pembelajar yang
aktif, terlibat dalam proses pembaruan pengetahuan dan cara cara baru dari
kepastian untuk menunjang perluasan rentang masalah masalah sulit yang
meningkat. Fokus persekolahan harus berubah dari “mengajar” menjadi “belajar”,
dari penerimaan secara pasif tentang fakta fakta dan rutinitas menjadi aplikasi
aktif penerapan ide ide untuk pemecahan masalah. Transisi tersebut menjadikan
peran guru lebih penting.
1. Guru harus memiliki pemahaman yang baik
tentang berbagai aspek (fisik dan sosial) yang terlibat dalam sistem kerja.
2. Para guru harus berpikir untuk diri mereka
sendiri jika mereka mengharapkan orang lain berpikir tentang mereka, dapat
bertindak secara bebas maupun berkolaborasi dengan yang lain dan memberikan
pertimbangan pertimbangan kritis. Mereka harus memiliki pengetahuan yang luas
dan pemahaman yang mendalam.
3. Mereka memiliki kepandaian intelektual
yang tinggi. Lebih dari itu, mereka
harus bisa mengomunikasikan apa yang mereka tahu, menstimulasi siswa untuk
mencapai tingkat kemahiran yang sama. Guru harus mampu menciptakan lingkungan
tempat anak anak tidak hanya menikmati belajar, melainkan membangun dasar
(landasan) bagi mereka untuk melanjutkan belajar dan menerapkan apa yang mereka
ketahui bagi kehidupan mereka di masa depan.
4. Pada sekolah sekolah tempat siswa
diharaspkan memperoleh keterampilan dan pengetahuan rutin, kebutuhan akan
keterampilan dan pengetahuan dapat dikemas dalam buku paket dan guru dapat
dilatih untuk menyampaikan materi dalam buku paket kepada siswa dengan
efisiensi yang beralasan.[4]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Mendidik,
tentu berbeda dengan mengajar. Karena pendidikan mesti dipahami sebagai proses
yang tidak melulu mewariskan pengetahuan (transfer of knowledg) tetapi juga
bagaimana membimbing anak didik agar menjadi generasi yang cerdas, kreatif,
santun, dan berbudi luhur.
Ilmu
psikologi meyakini bahwa anak didik bukan gelas yang harus di isi, tetapi
tetapi api yang harus dinyalakan. Teori tersebut semakin memperkokoh keyakinan
bahwa pendidikan juga merupakan proses untuk menghidupkan api cinta dan
semangat dalam diri anak untuk terus mencari ilmu tanpa henti. [5]
DAFTAR
PUSTAKA
Mulyasa, A. 2009. “Managemen
Berbasis Sekolah”. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA
Rohiat. 2010.
“Managemen Sekolah” Bandung: PT Refika Aditama
Halimah, Deni
Koswara. 2008. “Seluk Beluk Profesi Guru” Bandung: PT PRIBUMI MEKAR
[1] Deni Koswara Halimah, “Seluk Beluk Profesi Guru”. Hal 125
[2] Rohiat, “Managemen Sekolah”. Hal. 39
[3] E. Mulyasa, “Managemen Berbasis Sekolah”. 43
[4] Deni Koswara Halimah, “Seluk Beluk Profesi Guru”. Edisi 1. Hal. 2-10
[5] Deni Koswara Halimah, “Seluk Beluk Profesi Guru”. Edisi 1. Hal. 12-13
Judul : Kedudukan dan Peran Guru sebagai Model dan Teladan
Penulis : Imam Rofi'i
PAI UM Surabaya
0 Response to "Kedudukan dan Peran Guru sebagai Model dan Teladan"
Post a Comment