Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan (1945-1966), Bagian 2

Rentang Tahun 1945-1968
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila. SKB dua menteri yaitu menteri agama dan menteri P dan K, kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.

Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara.

Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.

Kurikulum 1964
Fokus kurikulum 1964 adalah pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Panca wardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis siswa dalam masyarakat.

Seirama dengan perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan (1945) sampai sekarang, pendidikan Islam memang mengalami pasang-surut sesuai dengan peristiwa-peristiwa sejarah bangsa Indonesia. Namun pemerintah tetap terus berupaya melaksanakan amanat UUD 1945 dalam memajukan pendidikan nasional, sebagaimana tercantum dalam pasal 31UUD 1945. Hal itu tercermin di masa pasca kemerdekaan, dimana landasan filosofis pendidikan senantiasa terus mengalami perubahan, yaitu: (1) Dari tahun 1945-1950, landasan idiil pendidikan ialah UUD 1945 dan falsafah Pancasila; (2) Pada pertengahan tahun 1949, dengan terbentuknya negara RIS atau Republik Indonesia Serikat, di Negara IndonesiaTimur menganut sistem pendidikan kolonial Belanda; (3) Pada tanggal 17Agustus 1950, dengan terbentuknya kembali NKRI atau Negara KesatuanRepublik Indonesia, landasan idiil pendidikan ialah UUDS atau Undang-Undang Sementara Tahun 1950; (4) Pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke UUD 1945 dan menempatkan Manipesto Politiknya menjadi Haluan Negara, dimana di bidang pendidikanjuga ditetapkan Sapta Usaha Tamadan Panca Wardana; serta (5) Pada tahun 1965, sesudah peristiwa G-30S/PKI atau Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia, kembali lagi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen.

Sementara itu, dari segi kebijakan pemerintah, Indonesia dalam bidang pendidikan Islam, pada bulan Oktober 1945, para ulama dan pemerintah mengeluarkan fatwa perang jihad melawan Belanda dan tentara Sekutu (Inggris) yang hendak menjajah kembali Indonesia. Adapun isi fatwa ulamatersebut adalah: (1) Kemerdekaan Indonesia 17-8-1945 wajib dipertahankan; (2) Pemerintah Republik Indonesia adalah satu-satunya yang sah dan wajib dibela dan diselamatkan;(3) Musuh-musuh RI atau Republik Indonesia pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia, dan oleh karena itu wajib setiap rakyat mengangkat senjata menghadapi mereka; serta (4) Kewajiban tersebut di atas adalah jihad fisabilillah. 

Ditinjau dari aspek pendidikan, isi fatwa tersebut besar artinya, karena memberikan manfaat bahwa para ulama dan santri dapat mempraktekkan ajaran Islam mengenai jihad yang sudah dikaji bertahun-tahun dalam kitab suci fiqih di pondok atau madrasah. Selain itu, mempertahankan kemerdekaan Tanah Air itu menjadi sempurna terhadap sesama manusia dan terhadap TuhanYang Maha Esa. Di tengah-tengah berkobarnya revolusi kemerdekaan (1945-1950), pemerintah Republik Indonesia tetap membina pendidikan agama.

Pendidikan agama itu secara formal-institusional dipercayakan kepada Kementerian Agama dan Kementeian PP dan K. Oleh karena itu, dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua Kementerian tersebut untuk mengelola pendidikan agama disekolah-sekolah umum (negeri dan swasta). Adapun pembinaan pendidikan agama di sekolah agama ditangani oleh Kementerian Agama sendiri. Pendidikan agama Islam untuk sekolah umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. Sebelum itu, pendidikan agama sebagai pengganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di daerah-daerah. Pada bulan Desember 1946, dikeluarkan peraturan bersama dua Menteri, yakni Menteri Agama dan Menteri PP dan K, yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan nilai di kelas IV SR (Sekolah Rakyat, atau Sekolah Dasar sekarang) sampai kelas VI. Pada masa itu, keadaan dan situasi keamanan dalam negeri belum kondusif. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak memberikan pendidikan agama mulai di kelas I SR. Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun1947, yang dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantara dari Kementerian PP dan K. 

Pada tahun 1950, di mana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan, dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari KementerianAgama dan Mr. Hadi dari Kementerian PP dan K. Hasil dari panitia bersama itu adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) no. 1142 P dan K /1285 Depag di perkuat pp 33 yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951, yang isinya adalah sebagai berikut: Pertama, pendidikan agama yang diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar, sekarang). Kedua, di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (mayoritas), misalnyadi Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain maka pendidikan agama diberikan sejak kelas I SR, dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV. Ketiga, di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas (Umum danKejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam per minggu. Keempat, pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua atau walinya. Kelima, pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama,dan kurikulum pendidikan agama ditanggung oleh Kementerian Agama. 

Untuk menyempurnakan kurikulum, maka dibentuk lagi kepanitiaan yang dipimpin oleh K.H. (Kyai Haji) Imam Zarkasyi dari Pondok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.  Sementara itu, dalam sidang Pleno MPRS (MajelisPermusyawaratan Rakyat Sementara) pada bulan Desember 1960, diputuskan sebagai berikut: Melaksanakan MANIPOL USDEK (Manifesto Politik tentang Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme, Demokrasi, dan Ekonomi Terpimpin, serta Kepribadian Nasional) di bidang mental agama dan kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing. Dalam ayat 3, pasal 2 dari Undang-Undang MANIPOL USDEK itu dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai sekolah rendah (dasar) sampai universitas, dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta atau tidak dalam pendidikan agama jika wali murid/orang tua murid menyatakan keberatan. 

Pada tahun 1966, MPRS mengeluarkan lagi keputusan dibidang pendidikan agama yang telah mengalami kemajuan, yaitu dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Dengan demikian, sejak tahun 1966, pendidikan agama menjadi hak wajib mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi Umum ( PT Negeri maupun Swasta) diseluruh Indonesia.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan (1945-1966), Bagian 2"

Post a Comment